Bung Hatta dan 5 Nilai yang Perlu Diteladani

Sumber Foto: Kompas

Mohammad Hatta yang akrab kita kenal Bung Hatta merupakan salah satu tokoh sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Ir Soekarno dan tokoh intelektual lainnya, mereka berupaya mewujudkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hatta yang lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902, adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden yang telah dijabatnya sejak 1945, pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno.

Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi.

Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia.

Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971). Ia memperoleh gelar kehormatan akademis doctor honoris causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta pada tanggal 27 Nopember 1956.

Setelah meletakkan jabatan sebagai Wakil Presiden, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar doctor honoris causa dalam bidang ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar doctor honoris causa di bidang ilmu hukum.

Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal 18 November 1945 di Desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi’ah, dan Halida Nuriah.

Putri sulungnya, Meutia Hatta, adalah mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan di Kabinet Indonesia Bersatu. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek. Bung Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun, dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.

Mohammad Hatta selalu memberikan sumbangsih pemikirannya dalam banyak hal. Mulai dari dasar negara, konsep NKRI, proklamasi, hingga gagasan tentang ekonomi kerakyatan. Tak heran apabila negarawan asal Bukttinggi ini didapuk sebagai Wakil Presiden pertama Republik Indonesia.

Sebagai generasi penerus, sudah sepatutnya kita meneladani Bung Hatta. Berikut ini adalah lima nilai semangat Mohammad Hatta yang perlu kita tiru.

  1. Jiwa Solidaritas dan Kesetiakawanan

Solidaritas adalah simpati untuk kepentingan bersama yang dilandasi oleh rasa kesetiakawanan. Bung Hatta bahu membahu memperjuangkan kemerdekaan bersama seluruh lapisan masyarakat.

  1. Pro Patria dan Primus Patrialis

Artinya Bung Hatta selalu mencintai dan mendahulukan kepentingan Tanah Air. Beliau pernah diasingkan ke Boven Digul karena dianggap membangkan terhadap pemerintah kolonial. Meski demikian, Bung Hatta tidak gentar.

Bahkan, Bung Hatta berikrar tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Bung Hatta menepati janjinya. Beliau menikah pada 18 November 1945.

  1. Jiwa Toleransi atau Tenggang Rasa

Toleransi merupakan sikap tenggang rasa antarumat beragama, suku, golongan, dan bangsa. Ini tercermin dari sikap Bung Hatta yang menghargai kultur orang lain meskipun ia tidak ikut ambil bagian dalam kultur tersebut.

“Banyak kesaksian kawan-kawannya maupun penuturan ia sendiri dalam memoir-nya, betapa Hatta sangat asketik, tidak mau tergoda dengan beberapa kultur Barat yang dianggapnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Meskipun demikian, Hatta amat menghargai kultur orang lain itu meskipun ia sendiri tidak ikut ambil bagian atau larut di dalamnya,” tulis Zed dalam buku Cara Baik Bung Hatta.

  1. Jiwa Tanpa Pamrih dan Bertanggung Jawab

Hatta berjuang semata-mata agar negeri tercintanya lepas dari cengkeraman penjajah. Ia tidak memiliki maksud untuk menguntungkan diri sendiri.

Ia paham dan siap terhadap semua konsekuensi dari jalan politik yang ia tempuh. Saat itu, berani melawan kolonialisme artinya siap untuk hidup menderita.

  1. Jiwa Kesatria

Bung Hatta memiliki jiwa ksatria, yakni kebesaran hati yang tidak mengandung balas dendam. Seseorang yang berjiwa ksatria berani membela kebenaran dan melawan kejahatan. Pada saat yang sama, ia juga berbesar hati dan mengakui kelemahan.

Bapak Koperasi Indonesia

Dengan rasa peduli Hatta kepada rakyat dan ekonomi Indonesia, Hatta mendorong gerakan ekonomi kerakyatan melalui koperasi. Menurut Hatta, tujuan negara yaitu memakmurkan rakyat dengan berlandaskan atas asas kekeluargaan dan bentuk perekonomian yang paling cocok bagi Indonesia adalah ‘usaha bersama’ secara kekeluargaan.

Pada 12 Juli 1951, Hatta mengucapkan pidato radio dalam memperingati Hari Koperasi di Indonesia. Gagasannya mengenai koperasi terdapat dalam bukunya Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971). Atas kontribusi Hatta terhadap perekonomian Indonesia, Hatta diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada tahun 1953 saat kongres II di Bandung.

Dalam bukunya Hatta mengkategorikan social capital ke dalam 7 nilai semangat koperasi.

  • Kebenaran untuk menggerakan kepercayaan.
  • Keadilan dalam usaha bersama.
  • Kebaikan dan kejujuran mencapai perbaikan.
  • Tanggung jawab dalam individualitas dan solidaritas.
  • Paham yang sehat, cerdas, dan tegas.
  • Kemauan menolong diri sendiri dan menggerakan keswasembadaan serta otoaktiva.
  • Kesetiaan dalam kekeluargaan.

Dalam mengembangkan koperasi Indonesia, Hatta membuat 7 prinsip operasional secara internal dan eksternal: 1)Keanggotaan sukarela dan terbuka; 2) Pengendalian oleh anggota secara demokratis; 3) Partisipasi ekonomis anggota; Otonomi kebebasan; 4) Pendidikan; 5) Pelatihan dan informasi; serta Kerjasama antar operasi serta kepedulian terhadap komunitas. [kumparan/jurnal.id]

Source : kabardamai.id

https://kabardamai.id/bung-hatta-dan-5-nilai-yang-perlu-diteladani/

Bung Hatta dan Teosentrisme Pancasila

Silapedia.com – Setelah Sukarno, pendiri bangsa yang menulis serius tentang Pancasila adalah Mohammad Hatta. Karib Proklamator yang menjadi bagian dari Dwi Tunggal Sukarno-Hatta ini pada satu sisi melanjutkan gagasan Sukarno, namun pada saat bersamaan mengembangkannya. Pengembangan yang dilakukan Hatta adalah pengembangan konseptualisasi Pancasila yang bersifat teosentris.

Pemikiran Pancasila Hatta disebut teosentris karena ia menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai nilai yang memimpin dan membimbing sila-sila lainnya sebagai kesatuan. Dalam pemikiran Hatta, sila ketuhanan menjadi sumber bagi sila-sila di bawahnya. Inilah yang membuat Pancasila bersifat teosentris, dimana ketuhanan menjadi pusat dari sila-sila lainnya. Sifat teosentris ini melahirkan konsep Pancasila yang religius serta etis, karena pemusatan ketuhanan dilakukan Hatta untuk menempatkan nilai ketuhanan sebagai etika penyelenggaraan negara.

Pemikiran Pancasila Hatta ditulis dalam beberapa buku. Yakni Jalan Lurus Pancasila (1969), Pengertian Pancasila (1977) dan Uraian Pancasila (1977). Dua buku pertama merupakan karya pribadi. Sedangkan buku ketiga merupakan karya bersama dengan pendiri bangsa lain yang tergabung dalam Panitia Lima. Akan tetapi, rumusan makna sila-sila Pancasila dalam Uraian Pancasila, diambil dari tulisan Bung Hatta dalam Pengertian Pancasila.

Menarik kiranya ketika buku Pengertian Pancasila tersebut merupakan penerbitan atas pidato Bung Hatta dalam peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta. Sebuah pidato yang lahir dari kejujuran Hatta terhadap peran Sukarno sebagai penggali Pancasila melalui pidato 1 Juni 1945. Menarik karena di tahun ini, peringatan Harlah Pancasila 1 Juni telah dilarang oleh Orde Baru sejak 1970. Akan tetapi Bung Hatta tetap memperingatinya sebagai bagian dari komitmennya terhadap sejarah kelahiran Pancasila yang lurus.

Buku Pengertian Pancasila menjadi bukti bahwa Hatta adalah tokoh yang kokoh dalam menjaga kejujuran sejarah Pancasila. Sejak awal dekade 1970, ia berteriak lantang menegaskan kelahiran Pancasila pada 1 Juni 1945 melalui pidato karibnya, Sukarno. Teriakan lantang ini ia tulis di berbagai buku, sejak Memoir (1979)-nya, hingga ditegaskan dalam notulensi rapat Panitia Lima yang diketuainya dalam buku Uraian Pancasila. Namun meskipun menegaskan kelahiran Pancasila pada 1 Juni, Hatta melakukan pengembangan konsep Pancasila yang berbeda dari Sukarno. Hanya saja meskipun melakukan pengembangan konseptual, Hatta menegaskan bahwa Pancasila tidak mengalami perubahan sejak diusulkan Sukarno pada 1 Juni hingga resmi pada 18 Agustus 1945. Pengembangan yang terjadi dalam konteks penguatan dimensi moral di atas dimensi politik Pancasila.

Perubahan Posisi Ketuhanan

Ketika ide Sukarno ditetapkan oleh Sidang BPUPKI sebagai bahan utama perumusan dasar negara (Panitia Lima, 1977:35), maka Pancasila menjadi dasar negara yang sejak awal bersifat religius. Hal ini makin menguat ketika Panitia Sembilan yang diketuai Sukarno dan beranggotakan; Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Achmad Soebardjo, AA Maramis (golongan kebangsaan) serta Haji Agus Salim, Kiai Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Kahar Muzakir (golongan Islam), menaikkan ketuhanan dari sila kelima, menjadi sila pertama.

Melalui perubahan posisi ini, nilai ketuhanan tidak hanya menjadi akar bagi sila-sila lainnya, melainkan menjadi “dasar yang memimpin dan membimbing” sila-sila di bawahnya. Memang sempat terjadi penyempitan konsep ketuhanan ketika sila ketuhanan tersebut diimbuhi kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam rumusan Piagam Jakarta. Namun, penghapusan “tujuh kata” tersebut digantikan dengan frasa Ketuhanan Yang Maha Esa, telah mengembalikan nilai ketuhanan Pancasila ke sifat dasarnya yang inklusif. Penghapusan “tujuh kata syariah” dan penggantian dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, berarti proses kembali pada ide dasar ketuhanan dalam pidato 1 Juni Sukarno, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa yang bersifat inklusif dan pluralis.

Dalam konteks perubahan rumusan Pancasila 1 Juni menjadi Pancasila resmi 18 Agustus 1945, Hatta memulai konsepsi Pancasilanya. Kajian Hatta terletak pada konsekuensi dari perubahan rumusan Pancasila tersebut, dengan titik fokus perubahan posisi sila ketuhanan, dari sila kelima, menjadi sila pertama.

Sebagai tanggapan terhadap ide Pancasila Sukarno pada 1 Juni, dalam Pengertian Pancasila (1977), Bung Hatta menyatakan:

“Pancasila permulaan itu, rumusannya dan urutannya: 1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan; 3. Mufakat atau demokrasi; 4. Kesejahteraan sosial; 5. Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadinya berlainan dari formula dan uraian dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar. Tetapi dasar ideologi sama”. (Hatta, 1977: 12).

Lebih lanjut ia menjelaskan:

“Pancasila terdiri atas dua lapisan fundamen, yaitu: 1. Fundamen politik; 2. Fundamen moral (etik agama). Bagi Bung Karno, sendi politik didahulukan, sendi moral jadi penutup”. (Hatta, 1977: 12).

Ketika susunan sila-sila berubah dalam Pancasila resmi, maka menurut Hatta, fundamen moral lalu berada di atas. Fundamen moral yang dimaksud ialah moralitas keagamaan yang bersumber dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Ujar Hatta, “Dengan meletakkan dasar moral di atas, negara dan pemerintahannya memperoleh dasar kokoh, yang memerintahkan berbuat benar, melaksanakan keadilan, kebaikan dan kejujuran serta persaudaraan ke luar dan ke dalam. Dengan politik pemerintahan yang berpegang kepada moral yang tinggi diciptakan tercapainya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. (Hatta, 1977: 17).

Untuk sila ketuhanan usulan Sukarno, Hatta menyatakan, “Dasar kelima: Ketuhanan yang berkebudayaan, yaitu luhur, ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain, sehingga segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan yang dituju pula dengan Ketuhanan yang berkebudayaan itu ialah Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Ini artinya, Hatta memahami sila ketuhanan Sukarno sebagai prinsip ketuhanan yang berkebudayaan yang merujuk pula pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Tepat di sinilah kritik Hatta. Sebab ketuhanan yang berkebudayaan, yang menjadi sila kelima itu, ialah prinsip ketuhanan secara sosiologis. Ia hanya mengatur hubungan antar-umat beragama, agar terjalin toleransi dan sikap hormat menghormati.

Prinsip ini lalu direvisi oleh rumusan Pancasila resmi, melalui perubahan posisi ketuhanan, dari sila kelima, menjadi sila pertama. Dalam hal ini, Hatta menyatakan:

“Akibat daripada perubahan urutan sila yang lima itu, sekalipun ideologi negara tidak berubah karena itu, ialah bahwa politik negara mendapat dasar moral yang kuat. Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing, seperti yang dikemukakan oleh Bung Karno bermula, melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan. Negara dengan itu memperkokoh fundamennya” (Hatta, 1977: 30).

Melalui pandangan ini, Hatta telah memulai apa yang ia maksud dengan perkembangan paham Pancasila. Artinya, perkembangan pemahaman atau konsep tentang Pancasila, dari ide Pancasila pada 1 Juni, menjadi konsep Pancasila resmi. Perkembangan itu terdapat terutama pada perkembangan konsep ketuhanan. Pada ide 1 Juni, ketuhanan bersifat sosiologis karena hanya menyediakan prinsip toleransi antar-agama. Pada rumusan Pancasila resmi, ketuhanan bersifat etis, menjadi sila yang memimpin penyelenggaraan negara. Dalam kerangka etis ini, maka sila ketuhanan lalu menyifati sila-sila di bawahnya, sehingga sila-sila tersebut bermoralkan etika ketuhanan.

Dalam kaitan ini, Hatta lalu mengembangkan konsep ketuhanan Pancasila menjadi beberapa prinsip penting. Pertama, ketuhanan lalu menjadi dasar yang memimpin cita-cita negara untuk menyelenggarakan praktik kenegaraan yang baik dan mulia. Kedua, sila Ketuhanan Yang Maha Esa membimbing sila-sila lainnya menjadi kesatuan nilai yang saling mengikat. Sebagaimana penegasannya:

“Di bawah bimbingan sila yang pertama, sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kelima sila itu ikat-mengikat” (Hatta, 1977: 20).

Artinya, Ketuhanan Yang Maha Esa lalu membimbing sila-sila di bawahnya menjadi kesatuan nilai yang ikat-mengikat. Penegasan bahwa ketuhanan membimbing sila-sila lainnya secara kesatuan juga beliau nyatakan, “Karena sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menghidupkan perasaan yang murni senantiasa, terdapatlah pasangan yang harmonis antara kelima-lima sila itu. Sebab apa artinya pengakuan akan berpegang kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, apabila kita tidak bersedia berbuat dalam praktik hidup menurut sifat-sifat yang dipujikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, seperti kasih dan sayang serta adil?” (Hatta, 1977: 31).

Dengan demikian bisa dipahami bahwa kesatuan sila kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial dengan sila ketuhanan, merupakan konsekuensi logis dari komitmen pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab menurut Bung Hatta, komitmen kepada Tuhan tidak akan bermakna jika tidak dibuktikan oleh tindakan yang sesuai dengan sifat-sifat Tuhan, yakni Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Adil. Ini berarti, Hatta memaknai sila-sila Pancasila sebagai cerminan dari sifat Tuhan. Oleh karenanya, Berketuhanan Yang Maha Esa, berarti mengamalkan sila-sila di bawah ketuhanan sebagai pengamalan dari nilai ketuhanan tersebut.

Kesatuan sila-sila Pancasila dengan ketuhanan ditegaskan Hatta dalam penjelasannya mengenai sila-sila tersebut:

  • Dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, tak lain dari kelanjutan dengan perbuatan dalam praktik hidup daripada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, dasar yang memimpin tadi. Sebab itu pula letaknya dalam urutan Pancasila tidak dapat dipisah dari dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
  • Dasar kemanusiaan ini, yang berakar pada kehendak Tuhan Yang Maha Esa selanjutnya tercermin dalam sila ke-4 (kerakyatan) dan ke-5 (keadilan sosial).
  • Di bawah pengaruh dasar Ketuhanan Yang Maha Esa serta dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, kerakyatan yang akan dilaksanakan itu hendaklah berjalan di atas kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, kesucian dan keindahan. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa yang diamalkan seperti disebut tadi, akan memelihara kerakyatan kita dari bujukan korupsi dan gangguan anarki. (Hatta, 1977: 32-36)

Dari penjelasan di atas, Hatta secara eksplisit menghubungan sila ketuhanan dengan sila kemanusiaan dan sila kerakyatan. Mungkin karena kedua sila ini mencerminkan prinsip perbuatan manusia, sehingga terkait dengan pengakuan kepada Tuhan. Terhadap sila kebangsaan dan keadilan sosial, Hatta tidak eksplisit menghubungkannya dengan ketuhanan. Sebab ia lebih banyak memaparkan konsep rasional tentang bangsa dan keadilan ekonomi. Tidak dihubungkannya kedua sila terakhir dengan ketuhanan, tidak berarti keterpisahan dengan sila yang memimpin tersebut. Sebab sejak awal Hatta menegaskan bahwa kelima sila saling mengait di bawah bimbingan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perspektif Hattaian

Konsep Hatta tentang Pancasila yang bersifat teosentris mendapatkan apresiasi, terutama karena ia mampu memberikan penafsiran yang bisa diterima oleh kelompok agama. Hal ini dinilai penting, karena sejak kelahirannya hingga saat ini, kelompok agama inilah yang menawarkan ideologi alternatif atas Pancasila. Dalam kaitan inilah, inspirasi Hatta lalu melahirkan “perspektif Hattian” dalam membaca Pancasila. Perspektif ini secara langsung terinspirasi dari pemikiran Hatta, atau memiliki napas yang sama meskipun tidak memiliki hubungan secara langsung.

Apresiasi terhadap konsep Hatta tersebut, salah satunya disampaikan oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam Islam dan Pancasila sebagai Dasar NegaraStudi tentang Perdebatan dalam Konstituante (1985). Dalam menanggapi konsep Pancasila Hatta yang menempatkan sila ketuhanan sebagai nilai sentral, Ma’arif menyatakan:

“Bagaimana argumen-argumen Hatta tentang Pancasila? Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut Hatta, merupakan prinsip pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Prinsip spiritual dan etik ini memberikan bimbingan kepada semua yang baik bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Sejalan dengan prinsip dasar ini, sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah kelanjutan dari sila pertama dalam praktik. Begitu juga sila ketiga dan keempat. Sedangkan sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menjadi tujuan akhir dari ideologi Pancasila. Dengan berpegang teguh pada filsafat ini, pemerintah negara Indonesia, kata Hatta, jangan sampai menyimpang dari jalan lurus bagi keselamatan negara dan masyarakat, ketertiban dunia dan persaudaraan antar-bangsa. Dengan menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, negara memperoleh landasan moral yang kukuh. Inilah inti pendapat Hatta tentang Pancasila. Sekalipun tidak terang-terangan mengatakan bahwa pendapatnya itu diambil dari ajaran Islam, tetapi orang sudah tahu bahwa pengertian Pancasila semacam ini hanyalah mungkin karena Hatta adalah seorang Muslim yang taat dan konsisten. Di sinilah letaknya kekuatan argumen Hatta”. (Ma’arif, 1985: 212)

Dengan konsep Pancasila yang religius, bahkan teologis seperti ini, maka pemikiran Hatta semestinya bisa menjadi jembatan, terutama bagi kelompok keagamaan, untuk tidak menyangsikan Pancasila. Senapas dengan apresiasi Ma’arif terhadap konsep Pancasila Hatta, maka Ma’arif pun memiliki penafsiran yang sebangun dengan pemikiran Sang Proklamator tersebut. Menurut Ma’arif:

“Bila sila Ketuhanan Yang Maha Esa dipercayai sebagai sumber sila-sila yang lain, kemudian barangkali masalahnya mendekati penyelesaian. Namun sayangnya, usaha ke arah itu dalam majelis (Konstituante) tidak dilakukan secara serius oleh golongan manapun. Di mata al-Qur’an, hubungan antara kepercayaan kepada Allah dengan prinsip keadilan sosio-ekonomi adalah ibarat hubungan antara dua sisi mata uang yang sama. Jika jalan analisis ini dapat diterima, maka kemudian persoalannya adalah apakah Pancasila bersedia atau tidak menaikkan dirinya dengan mengambil nilai-nilai moral fundamental seperti diajarkan oleh agama-agama wahyu..” (Ma’arif, 1985: 201)

Pandangan Ma’arif ini bersifat Hattaian, karena ia menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sumber bagi sila-sila lainnya. Dengan cara ini, maka terbangun kesatuan antara sila ketuhanan pada satu sisi, dengan sila kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial pada saat bersamaan. Sebab di dalam Islam misalnya, iman kepada Tuhan, serta keadilan sosial-ekonomi merupakan kesatuan nilai yang tidak terpisah.

Konsep Pancasila Hattaian yang bersifat teosentris ini melengkapi gagasan Pancasila Sukarno yang bersifat nasionalistik dan sosiosentris. Nilai plus konsep Hatta ialah potensi penerimaan dari kalangan keagamaan, sebab dalam pandangan Hatta, Pancasila merupakan dasar negara religius dan teosentris. Meskipun konsep Pancasila Hatta dan Sukarno tidak bisa dibandingkan secara oposisional. Keduanya memiliki konteks masing-masing serta signifikansinya sendiri. Untuk menegaskan Pancasila sebagai dasar negara nasional yang memayungi keragaman bangsa, gagasan Pancasila Sukarno sangat dibutuhkan. Sedangkan untuk menguatkan Pancasila sebagai dasar negara religius guna menolak anggapan kelompok keagamaan yang menilai Pancasila sekular, maka konsep Pancasila Hatta kita butuhkan. Keduanya saling melengkapi demi kuatnya negeri ini.

Source : https://silapedia.com/2023/03/02/bung-hatta-dan-teosentrisme-pancasila/

Menerapkan Pemikiran Bung Hatta Dalam Menuju Rakyat Indonesia Yang Bahagia

MENERAPKAN PEMIKIRAN BUNG HATTA DALAM MENUJU RAKYAT INDONESIA YANG BAHAGIA

Prof. Dr. Maizar Rahman (Ketua Yayasan Proklamator Bung Hatta)

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Bismillahirrahmaanirrahim, Wassalatu wassalamu ‘ala asrafil ambiyyai wa mursaliin, wa‘ala ali wassahbihi ajmaiin.

Yth, Bapak H. Amri Aziz, Ketua Umum DPP FAMM.

Yth, Bapak-Bapak Narasumber, Bapak Prof. Fasli Jalal, Bapak Guspardi Gaus, dan Bapak Prof. Musril Zahari.

Yth, Bapak-bapak Penanggap, Bapak Dr. Iramady Irdja, Bapak Norman Zainal, Bapak Dr. Umar Aris, dan Bapak Dr. Fikri Bareno.

Yth, Bapak dan Ibu Pengurus DPP FAMM

Yth, Bapak dan Ibu Panitia Mubes FAMM

Yth, Bapak dan Ibu peserta Mubes FAMM dan para hadirin sekalian yang kami hormati.

Pertama-tama ucapan terima kasih saya kepada Panitia atas undangan dalam pertemuan yang penting ini, dan juga kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT. atas rahmat dan hidayahnya sehingga kita dapat berkumpul dalam musyawarah besar Forum Alumni Mahasiswa Minangkabau ini.

Hadirin yang kami hormati.

Di awal sambutan ini, Panitia minta saya sedikit bercerita tentang pengalaman kerja saya. Selesai dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1974 dan ditugasi di Lemigas, disuruh mengambil S2 dan S3 di Perancis. Setelah itu langsung bertugas di penelitian selama 28 tahun termasuk memimpin lembaga penelitian teknologi migas LEMIGAS. Alhamdulillah, Lembaga ini banyak membantu kebijakan pemerintah di bidang migas maupun dukungan teknologi ke industri migas .

Penugasan selanjutnya adalah di bidang diplomasi internasional sebagai Akting Sekjen di OPEC, Gubernur OPEC dan kemudian di bidang korporasi sebagai preskom di Chandra Asri Petrochemical dan sebagai komisaris di Pertamina, semuanya juga sebagai penugasan Pemerintah. Pada usia saya di atas 70 tahun, aktivitas di bidang energi dan sosial tetap diminta walau sifatnya lebih konsultatif.

Semua karir itu berjalan begitu saja tanpa direncanakan dan tanpa dikejar karena sebagai PNS kita menganut prinsip ‘manut dan patuh’ pada penugasan. Tapi kunci-kuncinya agar terpilih memang harus menyiapkan diri agar memiliki kemampuan akademis yang baik, profesionalitas dalam menangani tugas, komunikatif, dan kerja keras. Dan itu berlaku dimana saja, baik di tataran nasional maupun internasional. Kata orang, karir atau kesempatan adalah kesiapan seseorang untuk menerima setiap peluang yang lewat .

Tapi tentu tidak diragukan bahwa bagi kita semua, doa orang tua sangat menentukan dalam jalan hidup kita. Semoga para orang tua kita, mereka mendapat tempat yang sebaik-baiknya di sisi Allah SWT. Amin ya rabbal ‘alamin.

Hadirin yang kami hormati,

Kemudian, pada tahun 2016 saya diminta sebagai Ketua Umum Yayasan Proklamator Bung Hatta. Yayasan ini bertujuan menggali dan melestarikan nilai-nilai kebangsaan yang telah diwariskan para tokoh perjuangan bangsa, mendidik, melatih dan mensosialisasikannya kepada generasi penerus bangsa, dengan harapan terbekalnya calon-calon pemimpin bangsa menjadi pribadi berkarakter luhur dan mulia dan mampu mengangkat bangsa Indonesia menjadi negara yang bermartabat, kuat , adil, sejahtera dan bahagia.

Bung Hatta adalah satu dari founding fathers yang selalu berada di tengah gejolak perjuangan bangsa sampai dengan kedaulatan bangsa dicapai, bahkan juga sampai dengan negara kesatuan yang diproklamasikan didapatkan kembali. Kita tidak hanya ingin mengenang kelahiran seorang besar, tetapi juga mencoba memahami kembali apa artinya berjuang mendirikan negara nasional, yang bersatu, demokratis, dan berkeadilan.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX almarhum, Sultan Yogya yang ikut berjuang sepenuhnya untuk kemerdekaan Indonesia, memberikan kesan-kesannya bahwa Bung Hatta adalah seorang pemimpin nasional yang berwatak dan berbudi luhur yang mengutamakan perjuangan kita dan keadaan rakyat. Kata Sri Sultan, bila semua orang berjiwa seperti Bung Hatta, tak ada kekuatan di dunia yang dapat mematahkan revolusi kemerdekaan kita. ….beliau tidak memikirkan diri sendiri namun pasrah kepada Tuhan.

Dalam kesan-kesan yang diberikan 55 tokoh di dalam buku peringatan Satu Abad Bung Hatta ditegaskan bahwa Bung Hatta adalah “ Bapak Kedaulatan Rakyat”.

Bung Hatta mengatakan rakyat itu jantung hati bangsa. Dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi rendah derajat kita, hidup atau matinya Indonesia Merdeka, semuanya tergantung kepada semangat rakyat. Penganjur-penganjur dan golongan kaum terpelajar baru akan berarti, kalau di belakangnya ada rakyat yang sadar dan insyaf akan kedaulatan dirinya. Karena itu Bung Hatta mengatakan bahwa “dalam pembangunan nasional yang kita bangun adalah manusianya. Pembangunan ekonomi dan pembangunan-pembangunan non ekonomi adalah derivat dari tugas membangun manusia (rakyat)”.

Bung Hatta dikenal sebagai sosok yang amat piawai dan berperan penting dalam mengawal persatuan bangsa di fase- fase memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang terancam oleh pemerintah kerajaan Belanda yang tidak rela Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Bung Hatta juga menghasilkan berbagai pemikiran dan arahan yang sangat berharga secara terus- menerus dalam penataan negara ini baik pada saat proklamasi kemerdekaan oleh beliau bersama Bung Karno maupun pada era pembangunan negara. Bung Hatta mengingatkan agar sesudah era revolusi selesai bangsa Indonesia harus cepat memasuki periode pembangunan agar pembangunan bisa merata ke seluruh negeri.

Para hadirin yang kami hormati,

Di negara kita ini, hampir setiap hari kita mendapat berita yang tidak membahagiakan. Kecelakaan di darat, laut dan udara, polusi sungai, kebakaran di mana-mana, banjir dan longsor, jembatan ambruk, pabrik tutup, keracunan minuman, narkoba yang merusak generasi penerus, penipuan dengan investasi bodong, travel umrah bodong, tenaga kerja TKI ditipu, vaksin

palsu, ijazah palsu, impor ilegal, begal motor, korupsi pejabat di segala lini, teror dan masih banyak lagi kalau didaftar semuanya.

Selain bencana alam yang merusak dan sebagian masih belum terkendali ada pula bencana kemiskinan dan kebodohan yang tak terselesaikan dalam waktu singkat. Korupsi juga merupakan bencana besar bagi banyak orang yang terdampak oleh perilaku manusia yang rakus dan tidak bermartabat itu yang melakukan korupsi apalagi kalau bersifat mewabah pula.

Sementara itu, kita menyaksikan di berbagai negara situasi yang jauh lebih membahagiakan dengan menerapkan kaidah- kaidah kehidupan yang baik. Misalnya di Jepang, sangat mengutamakan kejujuran, kesetiaan, ketulusan dan komitmen, serta diterapkannya prinsip visi zero, yaitu zero defect, zero late, zero fail, zero waste, zero loss, zero accident, zero hoax, zero narcotics, zero conflicts dan tentu saja zero corruption. Tas uang tertinggal di stasiun kereta api misalnya, dapat kembali ke pemiliknya.

Para hadirin yang kami hormati,

Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan”. Makna yang terkandung dalam ayat tersebut sangat dalam yakni sistem ekonomi yang dikembangkan seharusnya tidak berbasis persaingan serta berlandaskan individualistis, dan bahwa Koperasi adalah sokoguru perekonomian Bangsa.

Mengapa Koperasi kita kurang berkembang dan hanya berkontribusi sekitar 5 % (sumber lain bahkan melaporkan

hanya 1 %) dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Nasional ? Kepesertaan rakyat pada Koperasi juga rendah, yaitu hanya 8,4 %. Sedangkan angka global mencapai 16,3 %, di mana banyak perusahaan dan bank raksasa adalah koperasi. Kondisi koperasi kita ini kontradiktif dengan konstitusi kita tersebut.

Karena itu, dalam rangka mengembalikan Demokrasi Ekonomi menjadi arus utama dalam perekonomian Nasional sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi, peran seluruh partai politik sangatlah utama dalam membangun Demokrasi Ekonomi tersebut demi tegaknya keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.

Para hadirin yang kami hormati,

Dalam semua situasi yang dihadapi masyarakat di berbagai penjuru dunia, unsur manusia sangatlah berperan, terutama akhlak dan kemauan kuat untuk mengendalikan diri. Sering terlihat di media betapa kekacauan dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara terjadi karena manusia yang bertugas sebagai pejabat belum siap sebagai pemimpin dalam menjalankan tata krama dan akhlak dalam mengelola negara yang menjadi tanggung jawabnya.

Seorang pejabat harus memiliki jiwa kepemimpinan yang mengabdi kepada rakyat, takhta untuk rakyat, ia harus menjadi pemimpin yang menghormati rakyat sebelum rakyatnya menghormati dirinya. Ia harus merasa bahwa mereka yaitu rakyat yang dikelolanya mengandalkan dirinya untuk membawa mereka pada kesejahteraan hidup.

Para hadirin yang kami hormati,

Indonesia akan mengalami bonus demografi mulai tahun 2030 yang dapat membawa Indonesia menjadi negara terkuat No. 4 ekonomi di dunia. Namun sebaliknya Indonesia dapat menjadi negara gagal apabila tidak dapat dihasilkan generasi muda yang berkualitas, berkompetensi tinggi, berkarakter mulia dan luhur.

Kita ingat, berterima kasih dan hormat kepada Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Bung Natsir, dan banyak founding fathers lainnya yang bersama-sama dengan kompak telah memperjuangkan Indonesia dengan darah dan jiwa mereka menjadi negara berdaulat yang kita wariskan saat ini. Semangat juang, karakter, pribadi luhur yang ditunjukkan oleh mereka adalah nilai-nilai yang diperlukan dimiliki oleh generasi sekarang maupun generasi penerus demi terus tegaknya negara dan bangsa ini. Bung Hatta berpesan bahwa tanggung jawab generasi sekarang adalah kepada generasi yang telah mempusakakan negara ini dan kepada generasi yang akan datang agar tanah air ini dipelihara dan diteruskan sebagai pusaka bangsa.

Para hadirin yang kami hormati,

Demikianlah yang dapat kami sampaikan dalam acara Mubes yang sangat penting in dengan harapan besar munculnya banyak Bung Karno muda, Bung Hatta muda dan pemimpin- pemimpin harapan bangsa, generasi yang memiliki semangat, karakter mulia dan cita-cita seperti para founding fathers kita tersebut demi tercapainya apa yang dicita-citakan mereka, baik itu demokrasi politik, demokrasi kerakyatan dan demokrasi ekonomi dan berbagai arahan lainnya demi menjadi nyatanya negara kita ini menjadi negara yang bermartabat, berdaulat, sejahtera dan bahagia yang

semuanya secara jelas sudah tertuang dalam undang-undang dasar 1945.

Wabillahittaufik wal hidayah, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Final MUBES FAMM Sambutan PEMIKIRAN-PEMIKIRAN BUNG HATTA.

Pidato sambutan Anies Baswedan pada Rapimnas Dewan Koperasi Indonesia


Sumber : Anies Baswedan

Saya bersyukur sekali Alhamdulillah bisa kembali mengikuti acara dekopin. Ketika saya dapat undangan pertama kali, diberitahu Pak Nudin ada surat undangannya. Saya sempat khawatir waduh ini pas jadwalnya itu ada acaranya di Palu, makanya saya bilang ini gimana caranya bisa pulang supaya tetap bisa hadir di acara Dekopin ini. Jadi, acara di sana belum selesai sebenarnya. Pagi-pagi sudah langsung terbang ke sini. Alhamdulillah untung ada pesawat langsung, Palu-Jakarta. Jadi alhamdulillah bisa sampai dan ketemu dengan Ibu/Bapak para pejuang koperasi yang punya tantangan yang cukup besar di Indonesia ini.

Jadi, saya dapat kesempatan untuk berbagi, cuma tadi diberi waktunya agak menakutkan malah. Kalau waktunya  15-20 menit itu malah punya bayangan. Kalau agak panjang ini kita khawatir, tapi saya ingin gunakan kesempatan ini untuk berbagi pandangan, berbagi harapan dan sedikit reflektif barangkali. Atas apa yang kita kerjakan selama ini, saya ingat kalau tidak salah tahun lalu diundang di acara di Senayan di Hotel Century Atlet.

Saya ingin mengulang sedikit soal itu, jadi undangannya adalah bicara tentang Ekonomi Kerakyatan dan pembahasan Ekonomi Kerakyatan ini sudah menjadi pembahasan rutin puluhan tahun. Puluhan tahun bukan hanya sekarang-sekarang, ya. Dari dulu kita bahas, tapi sebelum kita bicara lebih jauh, izinkan kami bercerita sedikit tentang konsep ekonomi yang biasa disebut sebagai sosial market economy. Kalau sekarang mereka malah menyebutnya social market environment economy.

Kebetulan saya ketika tugas di Paramadina, di kampus, kami secara khusus mengadakan program pengkajian pendalaman terkait dengan konsep social market ekonomy ini. Kita mengundang para ekonom-ekonom dari kampus-kampus di seluruh Indonesia untuk bekerja bersama, memikirkan tentang bagaimana social market economy ini secara konseptual dansecara eksekusi. Kami kerjasama dengan Jerman, karena Jerman yang sudah melaksanakan konsep ini.

Jadi, yang unik dalam penanganan ini dalam konteks di Jerman. Penanganan kemiskinan misalnya, kalau di sana itu tidak dikerjakan oleh kementerian yang mengurusi kesra, tapi kemiskinan itu dikerjakan oleh kementerian yang mengurusi perekonomian. Jadi, Menteri Pembangunan dan Kerjasama Ekonomi itulah yang mengurusi soal kemiskinan, padahal di sana ada Kementerian Sosial dan Tenaga Kerja. Kenapa itu dilakukan? Karena urusan kemiskinan, urusan ketimpangan itu diselesaikan melalui instrumen ekonomi, bukan melalui instrumen jejaring pengaman sosial.

Jadi pasar, perekonomian itu sengaja dirancang untuk memperhitungkan mereka yang miskin dan mampu mengakomodasi mereka dengan memberikan kesempatan-kesempatan yang setara di dalam sistem perekonomiannya. Yang biasa kita kerjakan, apalagi di Amerika Utara, biarkan market beroperasi, nanti ada yang disebut sebagai market failure, kegagalan pasar.

Market failure itu yang bisa menciptakan apa yang muncul dengan fenomena ketimpangan, fenomena kemiskinan. Market failure itu, sisa itu nanti yang akan dibantu oleh pemerintah dengan berbagai macam program, peran social. Jadi, membereskan persoalan ketimpangan kemiskinan, bukan semata-mata sebagai instrument, menggunakan instrumen pemerintah, tapi justru menggunakan instrumen pasar.

Nah, konsep ini, social market economy ini didorong menjadi alternatif ketiga, setelah kita punya dua yang kita tahu di dunia ini. Satu adalah sistem kapitalis, yang satu sistem sosialis. Ini menjadi jalan ketiga yang ditawarkan. Dia menggabungkan sistem ekonomi pasar, sistem ekonomi kapitalis dengan kebijakan-kebijakan sosial yang memastikan adanya kompetisi yang adil di dalam pasar dan di dalam meraih kesejahteraan bersama.

Jadi, negara tidak mengintervensi perencanaan produksi, tidak mengintervensi perencanaan ketenagakerjaan, penjualan, tapi negara menggunakan instrumen kebijakan moneter, menggunakan instrumen kredit, perdagangan, perpajakan, bea cukai, investasi untuk menciptakan sebuah perekonomian, untuk menciptakan sebuah pasar yang memastikan bahwa kesejahteraan dan memastikan bahwa terpenuhinya kebutuhan seluruh populasi bukan hanya sebagian populasi.

Nah, kita ketika melihat ini, konsep ini di dalam operasionalisasinya di sana rasanya seperti melihat sesuatu yang sering kita baca dalam literatur kita yang kita sebut sebagai konsep Ekonomi Pancasila, konsep Ekonomi Kerakyatan yang sudah digaungkan berdekade-dekade yang lalu. Nah, kalau kita lihat, saya cek di sejarahnya social market economy itu pertama kali di Jerman itu tahun 1949. Sebenarnya kita lebih awal bicara tentang bagaimana Ekonomi Kerakyatan, Ekonomi Pancasila itu sudah jauh sebelum tahun 1949, tapi ada bedanya Bapak/Ibu. Apa bedanya ini?

Bedanya, kita-kita yang membawa konsep Ekonomi Kerakyatan, konsep Ekonomi Pancasila berhenti di wilayah filsafat. Ekonomi Pancasila sebagai filosofi, sementara mereka yang berada di dalam social market ekonomy bergerak sampai modeling.

Bagaimana hitungan matematikanya? Bagaimana model perekonomiannya? Fungsi produksinya seperti apa? Jadi, di kita berhenti di wilayah filsafat, karena itu tidak bisa didebat, pasti semua setuju. Pasti semua setuju, filosofinya adil kok. Mana ada yang tidak setuju sama adil.

Pertanyaannya, bagaimana menjelaskannya? Nah, kalau boleh saya cerita sedikit sejarahnya. Bung Hatta dan generasinya berbicara tentang ekonomi yang berkeadilan, pasar yang berorientasi pada kesejahteraan semua, bukan berontasi pada kesejahteraan sebagian, itu generasi Bung Hatta. Generasi berikutnya dikirim sekolah ekonomi ramai-ramai ke negara yang mengadopsi sistem kapitalis. Berangkat rombongan ke sana dan kemudian di sana tidak sedikitpun belajar unsur sosialnya di dalam pasar.

Teknik-teknik kebijakannya, modeling ekonominya, semua mengasumsikan pasar tanpa unsur sosial dan berbondong-bondong mereka pulang ke Indonesia, lalu menyusun perencanaan perekonomian Indonesia. Tidak menggunakan kiblat yang disusun Bung Hatta, tapi menggunakan kiblat yang dipelajari ketika berada di sekolah tempat mereka belajar dan saya salah satu yang terbawa dalam rombongan itu.

Saya berangkat ke Amerika itu atas beasiswa Fulbright. Bidangnya international trade. Saya ini sebetulnya bidangnya bukan politik, saya ini sarjana ekonomi ambil bidangnya adalah bidang international trade, di sana bicara tentang economy internasional, economy policy dan tesis di final itu tentang currency market. Tentang apa tuh currency market, tuh? Pasar mata uang dan bagaimana mengelola currency market itu dengan benar, begitu kira-kira.

Tapi untungnya, Bapak/Ibu sekalian, untungnya pondasi yang saya bawa berangkat itu pondasi yang saya pelajari dari Bapak Mubyarto. Karena saya belajar ekonomi di Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, guru saya namanya Profesor Mubyarto yang bicara Ekonomi Panca sila. Jadi, ketika saya berangkat ke sana, saya lihat itu beda. Jadi ketika kemudian saya ketemu dengan instrumen-instrumen itu, saya kemudian membaca. Wah, begini rupanya cerita Republik ini. Ketika kami belajar Ekonomi Pancasila / Kerakyatan, tidak ada modelingnya, Bapak/Ibu. Tidak ada, mana modelnya? Coba kalau Bapak/Ibu tanya ini mana modelnya? Fungsi produksinya seperti apa? Coba ditunjukkan rumusnya, tidak kelihatan. Sementara ketika saya bicara belajar tentang ekonominya kapitalis di situ ada fungsi produksinya, di situ missing link kita.

Karena itu ketika saya kemarin bertugas sebagai Rektor di Universitas Paramadina, saya bicara; “Yuk kita bahas bagaimana menerjemahkan Ekonomi Kerakyatan, Ekonomi Pancasila dalam sebuah model-model perekonomian, model-model ekonomi yang matematikanya bisa dihitung”. Karena selama ini model itu berhenti di dalam filsafat, jadi kalau kemudian Bapak/Ibu ketemu dengan pengambil kebijakan bilang, “Pak, kami ingin kebijakannya berorientasi social.” Itu pengambil kebijakannya juga bingung. “Tunjukkan saya caranya.” Kalau dalam pidato saya bisa pidatokan, tapi kalau tunjukkan kebijakan apa yang harus kerjakan? Kenapa contoh dari social market economy di Jerman itu menarik? dan itu ada ilmunya sekarang. Dan yang menarik, kampus-kampus di Amerika Serikat mulai mengimpor dosen-dosen dari Jerman untuk mengajarkan social market economy di pusatnya kapitalisme di Amerika Serikat.

Bagaimana pasar dengan spirit keadilan? Nah, ini Bapak/Ibu sekalian PR yang harus kita tuntaskan. Ketika kita mengkaji ini dengan banyak ekonom-ekonom Indonesia, semuanya merasa alhamdulillah akhirnya filosofi yang kita punyai itu, punya instrumen aplikasinya. Ini kemudian yang harus kita dorong, jadi kalau kita tidak membereskan ini di level para pakar ekonomi, maka sampai kapanpun kita akan bergerak 2 arah.

Filosofinya kerakyatan, alatnya kapitalis, karena alatnya kita nggak punya. Yang bergerak kapitalis juga mencoba untuk mencari justifikasi filosofinya, bukan? Dengan cara negara hadir memberikan bantuan-bantuan sosial atas ketimpangan yang muncul akibat pendekatan yang kapitalis. Nah, ini Bapak/Ibu sekalian yang saya merasa PR, ekonomi kerakyatan ini masih slogan. Masih menjadi filsafat, jadi ke depan kita harus melakukan pengembangan keahlian di dalam menerjemahkan filsafat Ekonomi Kerakyatan menjadi instrumen kebijakan Ekonomi Kerakyatan.

Jadi ini membuat Ekonomi Pancasila, Ekonomi Kerakyatan itu tidak menjadi

sesuatu yang utopis. Kalau sekarang ngobrol tentang Ekonomi Pancasila di kalangan ekonom, utopis itu. Pasti begitu.  Secara terbuka ya, semuanya pasti baguslah. Namanya juga filsafat keadilan, tidak ada yang tidak setuju, tapi dalam prakteknya model matematikanya tidak ada, kebijakan publik yang kokohnya juga belum ditemukan. Nah, salah satu yang sering juga disebut dan juga sering dibahas tapi terasa masih sebagai slogan, itu adalah kalimat; Koperasi adalah soko guru perekonomian Indonesia. Mirip bukan? Iya, mirip. Koperasi sebagai soko guru, soko guru itu artinya apa, sih? Tiang utama, yang di tengah, tiang penyangga. Dan kenyataannya, apakah koperasi ini sudah menjadi soko guru atau masih sekedar pavilion? Ini kenyataannya, nih. Ya, kan? Kita masih di teras, belum masuk halaman utama.

Dan apakah koperasi sudah menjadi penyedia solusi utama? Bagi masalah-masalah besar bangsa, masalah-masalah besar perekonomian, masalah-masalah besar kesejahteraan, rasanya belum. Betul itu? Rasanya belum. Dan bila koperasi itu disebut, kira-kira top of mind di publik apa? Koperasi simpan pinjam, Bapak/Ibu. Iya, kan? Itu top of mind.

Saya sempat minta tim saya untuk ngecek apa namanya statistiknya. Statistiknya itu 6 dari 16 sektor yang tinggi atau 5 sektor utama. 49,6% itu jasa keuangan dan asuransi. 35% pertanian, kehutanan, asuransi. Lalu makanan minuman akomodasi 10%, perdagangan besar 1,6%, jadi separuh itu bidangnya, jasa keuangan.

Jadi simpan pinjam dan di antara simpan pinjam itu ada yang sangat terkenal; KospinJasa Pekalongan. Ini catatannya nilainya sudah sampai Rp.12 triliun. Pengelolaan bisnisnya lebih dari Rp.20 triliun. Ini nilai yang besar, tapi apa sudah menjadi soko guru perekonomian? Belum. Nah, sekarang kita coba lihat di negara lain. Bagaimana kira-kira di negara lain?

Kita jangan hanya membandingkan dengan seharusnya, tapi kita membandingkan dengan yang sudah senyatanya bisa dikerjakan. Saya rasa Bapak/Ibu sekalian punya banyak contoh, tapi izinkan saya ambil contoh satu aja yang produknya kerasa kita di sini, Selandia Baru.

Selandia baru itu punya koperasi susu yang anggotanya 9.000 peternak, ini nggak kalah banyak dengan anggota di Bandung. Ini 9.000 peternak nih di sana, tapi koperasi ini menguasai 30% ekspor (produk) susu dunia. Saya ulang, 30% ekspor (produk) susu dunia. Dan kita kenal di Indonesia, ada mentega Anchor, susu Anlene. Nah, ini banyak sekali, namanya Fonterra. Fonterra ini koperasi di sana.

Perusahaan terbesar di sebuah negara justru sebuah koperasi. Jadi, kalau di New Zealand mereka bisa bilang bahwa koperasi adalah soko guru perekonomian New Zealand. Bisa itu, boleh ngomong. Karena yang terbesar adalah koperasi. Menguasai ekspor produk susu dunia.

Kita punya di Indonesia, namanya KPSBU, Koperasi Peternak Susu Bandung Utara (Lembang) dan anggotanya di sana itu lebih 8.000, kalau Selandia Baru 9.000 ini lebih dari 8.000. Populasi sapi perahnya itu di atas 20.000 dan produksi sekarang sekitar 150 ton per hari. Nah, pertanyaannya apakah KPS BU Lembang ini sudah menjadi soko guru perekonomian di Lembang dan Bandung? Apakah bisa kita bilang bahwa perannya sudah mendekati peran Fonterra di Selandia Baru? Belum.

18:58

Apakah dia nantinya bisa seperti Fonterra? Harus bisa! Ini tugas kita bersama. Jadi kita punya potensinya. Harus bisa. Harus bisa. Jadi kita ini ketika melihat kenyataan loh ukurannya 9.000, sini 8.000 yang sana bisa menguasai. Ini masalah, harus bisa dan kita harus mengusahakan itu.

Ada satu contoh lain, Pak. Di daerah Basque, Basque itu di Spanyol. Ada Koperasi namanya Mondragon, bidangnya bisnis, keuangan, retail. Ini pekerjanya 80 ribu orang, ada 250 anak perusahaan dan mereka punya sebuah kebijakan yang unik, yaitu tentang rasio upah. (Rata-rata) rasio upah pegawai paling rendah dan paling tinggi tidak boleh (lebih dari) 5x lipat dan mereka ikut menentukan arah kebijakan.

Ketika Spanyol kemarin menghadapi kontraksi krisis global, mereka bersama-sama mengambil keputusan, bukan mengurangi tenaga kerja. Tapi mengurangi gajinya, mengurangi anggarannya secara bersama-sama, tapi tenaga kerjanya tidak dikurangi. Inilah contoh ketika fungsi produksinya itu berubah, kita biasanya dalam perekonomian itu total produktivitas itu ada fungsinya. Ada sumber daya kapital, nomor satu. Labor, tanah, teknologi. Kemudian dia menjadi sebuah satu persamaan fungsi produksi. Nah, ini contoh Ekonomi Kerakyatan. Ada juga contoh lain di Yunani, Pulau Sifnos. Ini penduduknya sekitar 3.000 orang bikin koperasi memproduksi listrik dari sumber terbarukan untuk 100% kebutuhan listrik sendiri. Jadi mereka bikin panel surya, bikin kincir angin dan kemudian mereka gunakan itu untuk semuanya dan di Jerman hari ini 50% energi terbarukan itu dihasilkan dan dimiliki oleh komunitas-komunitas bentuknya koperasi, tapi Bapak/Ibu sekalian, 50% dari energi terbarukan di Jerman dihasilkan lewat koperasi. Jadi Ini contoh nyata.

Ketika filosofi itu diturunkan dalam bentuk kebijakan, diturunkan dalam bentuk model, begitu dieksekusi dahsyat dampaknya. Itu tadi cerita Selandia Baru, cerita Spanyol, cerita Yunani. Sekarang saya cerita Jakarta boleh ya? Cerita Jakarta walaupun sudah pension. Jadi ketika kami bertugas di Jakarta, kita melihat ini tidak bisa kita membiarkan begini saja. Negara dan rakyat berinteraksi tanpa ada sebuah institusi yang mengatur bersama, jadi kita gunakan pendekatan koperasi ini untuk sebuah policy experiment, policy breakthrough yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kami ini di pemerintah kalau membangun rumah susun, lalu kami menyediakan pengelola rumah susun, lalu pengelola rumah susun itu akan berurusan dengan setiap warga yang ada di situ. Tagihannya, maintenance-nya, begitu kira-kira. Semua kita kerjakan nanti pada bayar, tuh bulanan. Seperti apartemen, nah Kampung Aquarium, Kampung Akuarium itu kampung yang dulu digusur, hilang, kemudian kami bangun kembali kampung itu. Dibangunlah tower di sana dan warganya kembali masuk ke sana, nah, ini kita ubah konsepnya. Bukan pemerintah berurusan dengan perwarga. Kami minta mereka membuat koperasi untuk mengelola itu semua, namanya Koperasi Aquarium Bangkit Mandiri.

Mereka menjadi entitas berkumpulnya seluruh warga yang tinggal di sana harus anggota koperasi, tanpa anggota koperasi tidak bisa ikut tinggal di sana, harus. Lalu seluruh pengelolaan rumah susun itu dikelola oleh koperasi. Pembayaran bulanan oleh koperasi, jadi negara tidak berurusan langsung dengan rakyat, tapi berurusan lewat koperasi. Kan kita biasanya panggil manajer, bikin PT, mengelola rumah susun. Manajemen building, kenapa manajemennya PT? Apa yang terjadi ketika (koperasi) ini dilakukan? Semua memiliki peran yang sama, ya Bapak/Ibu tahulah prinsip pengelolaan koperasi.  Apa yang terjadi?

Kemudian warga itu bersatu, bekerja bersama dan berurusan dengan pemerintah sebagai sebuah entitas. Jadi kami bukan malah berinteraksi dengan warga langsung dan memecah belah warga, bukan. Justru Kami ingin warga bersatu lewat entitas koperasi, ini sudah dijalankan dan itu pertamakali. Ada pemerintah mengelolakan sebuah tempat miliknya, in ikan asetnya asset pemerintah, tapi dikelola oleh koperasi. Itu lamanya di mana? Lamanya cari regulasinya, Bapak/Ibu.

Apa artinya? Kita tidak memiliki policy framework yang memberikan ruang pada koperasi untuk mengelola seperti ini. Seperti yang saya katakan tadi, selama kita tidak menerjemahkan ke dalam bentuk regulasi, ini sulit koperasi itu tumbuh, sulit. Regulasinya disiapkan, jadi kami itu bertarungnya di mana? Nanti kalau pemeriksaan BPK bagaimana? Betul, kan? Nanti kalau perhitungan nilainya yang layak seperti apa? Wah itu rumitnya di situ.

Nah ini sudah kita lakukan, jadi kami ingin bilang begini Bapak/Ibu sekalian. Kalau kita mau menanyakan apa yang akan dikerjakan besok, jangan tanya apa isinya besok yang mau dikerjakan. Semua orang bisa ngarang apa saja Bapak/Ibu. Bapak/Ibu sekalian cari semua calon gubernur, calon walikota, calon presiden bicara depan Bapak/Ibu sekalian, tanya; “apa yang akan dikerjakan untuk koperasi, semua jawabannya menyenangkan kuping Bapak/Ibu sekalian. Iya, pasti semuanya akan bilang oh iya, kami akan bikin koperasi top, koperasi nomor satu. Semua akan bilang begitu dan Bapak/Ibu dengerin. Wah, ini cocok ini! Ini cocok sama kuping saya. Begitu ya. Pas tahun berikutnya berjalan kok tidak ada kenyataannya, ya?

Kami tidak mau menawarkan itu Bapak/Ibu sekalian, yang kami tawarkan adalah rekam jejak, kenyataan yang sudah terlaksana itu. Kenapa? karena ini rumus ini dalam psikologi, psikologi 101 ini semua yang belajar di ilmu psikologi tahu; the best predictor of your future behavior is your post behaviour. Prediktor terbaik untuk perilaku di masa depan adalah perilaku di masa lalu. Itu prediktornya, bukan kata-kata kita tentang masa depan, bukan. Bapak/Ibu juga kalau merekrut pegawai tenaga kerja pastikan tanya, kalau ditanyain; cari petugas jaga malam ajalah paling gampang. Sanggup tidak jaga malam? Lek-lekan (begadang)? Tidak tidur. Sanggup tidak? Pasti bilang sanggup. Dua malam tidak tidur? Oh, siap! Bapak/Ibu terus percaya gitu? Tidak mungkinlah. Bapak/Ibu lihat CV-nya, tidak pernah tugas jaga malam mengaku bisa jaga malam. Tidak akan terjadi, jadi Bapak/Ibu sekalian berhentilah fokus pada visi-misi, karena visi misi itu bisa disusun orang lain dan bisa indah sekali. Lupakan itu.

Visi-misi selalu. Setiap kali ada kandidat datang, saya ingin dengar visi-misi hanya mesti bagus bapak ibu dapat dari visi misi, ya mesti bagus Bapak/Ibu. Mesti bagus. Terus apa yang Bapak/Ibu dapat dari visi-misi yang bagus itu? Keterpesonaan sementara. Iya, itu Bapak/Ibu dapat. Tanyakan rekam jejak, tanyakan rekam jejak. Visi-misi itu imajinatif tapi rekam jejak itu realita, rekam jejak itu kenyataan.

Nah, kami mencoba di Jakarta, ketika kemarin kami coba dengan pendekatan. Ini makanya saua katakan tadi namanya policy experiment, policy breakthrough, di mana kita siapkan regulasinya supaya koperasi itu jalan sekarang. Harapan saya, pendekatan ini diteruskan. Kita lakukan untuk Kampung Bukit Duri, Bukit Duri itu warganya digusur kita buatkan rumah susun yang baru, sekarang mereka menggunakan koperasi juga untuk mulai itu. Oke, nanti Kampung Bayam menggunakan koperasi juga untuk mengelola. Nah, kita berharap nanti semua yang baru-baru di Jakarta itu menggunakan koperasi. Kita sudah mulai, mudah-mudahan diteruskan. Tanda tangannya sudah bukan di saya lagi soalnya. Kan itu soal tanda tangan, nah tapi arahnya sudah dan berjalan. Jadi Bapak/Ibu sekalian, ketika awal tahun ini, kami semua diundang para gubernur ke Nusantara ibu kota baru. Kami diminta untuk membawa tanah dan air, kami tidak bawa air mistis-mistis. Kami tidak bawa tanah mistis-mistis, bukan. Kami tidak bawa itu semua yang dari leluhur mana, tidak. Yang kami bawa itu adalah tanah dari Kampung Aquarium untuk membawa pesan bahwa Republik ini didirikan oleh rakyat kebanyakan dan kita harus mengelolanya dengan pendekatan yang mengandalkan pada pendekatan disusun konstitusi kita berbasis kerakyatan. Tanpa penggusuran yang seperti biasa kita kerjakan, relokasi itu tidak bisa dihindari Bapak/Ibu sekalian.

Dalam semua pembangunan relokasi tidak bisa dihindari, tapi pendekatannya harus pendekatan yang tepat. Nah ini yang kita bawa kemarin untuk bawa pesan itu, walaupun lalu ramai karena saya bawa tanah dari Kampung Akuarium, tapi kita inging membawa pesan bahwa kalau ke depan kita harus bicara tentang bagaimana membuat koperasi. Ekonomi Kerakyatan menjadi salah satu strategi utama dalam mengendalikan dampak berlebih dari Ekonomi Pasar Bebas. Kapitalisme dan Ekonomi Pasar Bebas ini Bapak/Ibu sekalian, sebetulnya ini relatif baru. Sebelum kapitalisme apa namanya, Bapak/Ibu sekalian? Sebelum ada kapitalisme. Feodalisme, Bapak/Ibu. Itu sebelum ada kapitalisme namanya feodalisme dan di bangsa kita punya feodalisme itu. Ada.

Sebelum ada social market economy, sebelum ada kapitalisme. Ekonomi kita ini dikuasai oleh tuan tanah dan kaum aristokrat. Kaum aristocrat, para ningrat. Mereka memperkerjakan orang-orang kecil dan orang-orang kecil ini nurut saja karena mereka menghadapi potensi kelak kelaparan, ketidakterdidikan, penderitaan. Nah, ini sudah berjalan Panjang, baru kemudian mulai abad 15, 16 di Eropa muncul terobosan tentang perekonomian berbasis kapitalisme dan feodalisme ini di Eropa mengalami pergeseran. Tapi di tempat kita feodalisme itu masih jalan terus agak Panjang, jadi saya ingin sampaikan bahwa munculnya kelas pedagang, munculnya variasi market base ekonomy itu fenomena baru dan punya tingkat kesuksesan yang bervariasi. Nah, kita melihat Bapak/Ibu sekalian. Kapitalisme ini telah berhasil mempercepat peningkatan kesejahteraan penduduk bumi secara agregat, secara agregat kita menyaksikan itu. Jadi gedung ini kenyamanan yang kita nikmati ini adalah contoh bagaimana sebuah pendekatan itu berhasil memberikan kenyamanan hidup bagi begitu banyak orang, tapi dia punya dampak side effect yang tidak kalah dahsyat.

Kita menyaksikan, kita di ruangan ini AC-nya nyaman bukan? Terangnya enak bukan? Tapi untuk ini bisa terjadi apa Bapak/Ibu sekalian? Emisi yang dihasilkan oleh gedung-gedung seperti ini, itu menyumbang 30% dari emisi efek rumah kaca di dunia ini. Sumbangannya 30% dari gedung. Kenapa? Lah wong AC-nya nyaman begini, terus residunya kemana Bapak/Ibu? Betonnya, lalu listriknya. Listriknya dimunculkan dari mana? PLTU Bapak/Ibu. PLTU-nya di sekitar Jakarta itu keluar dalam bentuk cerobong asap yang mengotori lingkungan kita.

Jadi ada ketidakpedulian pada kerusakan lingkungan, ada ketimpangan yang melebar akibat distribusi income dan kesejahteraan yang tidak setara. Ada kegagalan pasar dan ada siklus ekonomi yang hoom and bust. Nah ini Bapak/Ibu sekalian, seperti juga perkembangan teknologi, perkembangan ilmu itu mengalami fase-fasenya dan sekarang ini kita menyaksikan bahwa feodalisme dialihkan dengan sistem kapitalis lalu ada alternatif sosialis lalu sekarang muncul social market economy.

Nah, bagaimana dengan kita di Indonesia? Dari pengalaman kami, kalau melihat di Jakarta caranya bukan dengan memusuhi satu system, tapi dengan membuat terobosan dan dibesarkan, terobosan dibesarkan. Jadi kita harus mendorong perubahan, tapi perubahan itu tidak harus drastic, perubahan itu bisa dikerjakan secara bertahap. Sembari koperasinya pun mengalami pertumbuhan secara bertahap, jadi kita membayangkan Bapak/Ibu sekalian, membangun institusi-institusi alternatif di dalam sistem yang lama dan salah satu institusi yang bisa diandalkan adalah institusi koperasi. Itu yang paling bisa diandalkan.

Jadi ketika mendorong perkembangan koperasi, ini tidak berarti kemudian kita menuntut perubahan perekonomian secara keseluruhan. Namun kita membangun organisasi yang lebih menjanjikan kesetaraan bagi mereka yang terlibat di dalamnya dan bila koperasi ini bisa membuktikan, bisa menyelesaikan masalah-masalah besar, bisa menyelesaikan masalah-masalah mendasar, tidak hanya sebagai lembaga simpan pinjam, maka koperasi dengan sendirinya akan tumbuh.

Koperasi akan beralih menjadi mainstream dan insya Allah bisa menjadi mesin utama perekonomian Indonesia. Jadi kita ingin Bapak/Ibu sekalian punya koperasi sekelas Eonterra, yang bisa menghasilkan keadilan sosial seperti yang di Mondagron. Yang bisa seinovatif seperti di Sifnos Island, nah Bapak/Ibu sekalian berada di Dekopin itu punya contoh-contoh champion koperasi, betul? Ada contoh-contoh simple koperasi, itu dibesarkan. Strateginya itu dibesarkan dan carikan regulasi pemerintah apa yang menghambat itu menjadi besar. Itu diubah, itu diberikan ruang untuk bisa berkembang. Jadi saya melihat PR untuk mengerjakan ini itu besar tapi doable.

Hanya kita-kita yang berada di dalam pemerintahan itu harus mau mencari ruang policy apa yang harus diubah? Ruang policy apa yang harus diberikan? Jadi kalau boleh Bapak/Ibu sekalian mumpung lagi Rapimnas, Bapak/Ibu identifikasi 4 hal. Satu, terkait kebijakan untuk koperasi ini, hal apa yang harus diteruskan dan ditingkatkan oleh pemerintah? Dua, hal apa yang harus dikoreksi oleh pemerintah? Tiga, hal apa yang harus dihentikan oleh pemerintah? Empat, terobosan apa yang harus dikerjakan oleh pemerintah?

Itu semua terkait dengan koperasi, empat ini Bapak/Ibu. Jadi kita bukan bicara tentang Ekonomi Kerakyatan berkeadilan dengan utopia terus mau diterjemahkan ke Indonesia. Menerjemahkan keseharian kita, it won’t work, tidak jalan. Kita lihat prosesnya jangan deduktif; kira-kira kalau gitu teorinya, lalu kita mau terapkan. Jangan! Pendekatanny lebih induktif. Lihat kenyataannya lalu identifikasi empat itu.

Apa yang harus diteruskan dan ditingkatkan? Apa yang harus dikoreksi? Lalu apa yang harus dihentikan atau diganti? Lalu yang keempat adalah apa yang baru, apa yang harus dimulai? Dari sisi koperasinya, identifikasi, champio­nchampion koperasinya siapa? Harus think big, start small. Berpikirnya besar, kerjanya mulai dari yang kecil, yang nyata nih. Jadi kalau tadi kita bicara koperasi peternak susu, Susu Bandung Utara misalnya atau Kospin misalnya. Apapun, Bapak/Ibu yang lebih tahu. Bapak/Ibu yang berada di dalam institusi ini. Mana yang bisa jadi champion, mana yang bisa menjadi pembuka identifikasi. Lalu seriusi untuk itu diberikan ruang tumbuh berkembang, sehingga nantinya kita bisa memiliki contoh-contoh Bapak/Ibu sekedar disinformasi, saya tidak menghentikan pengelolaan rumah-rumah susun lama di Jakarta diubah jadi koperasi. Tidak, Bapak/Ibu.

Saya menerapkan pada yang baru, yang lama belum diganti. Kenapa? Biar yang baru ini terbukti dulu. Jalan terbukti berapa tahun, 5 tahun, 6 tahun baru dilihat. Nah baru yang lainnya mengalami perubahan. Kita kadang-kadang kalau bikin perubahan tuh ingin sekarang, ingin lakukan tepuk tangan buat pemilu ditunjukkan, Bapak/Ibu. Jangan.

Bubar semua ini. Bukan, ini perubahan untuk kesejahteraan rakyat. Jangan kita kerjakan semuanya; pokoknya asal kelihatan angka statistiknya keren. Senyatanya (harus) terjadi perubahan. Jadi kami kebijakannya yang baru kita terapkan dengan pola koperasi. Nah, ini kira-kira ke depan saya berharap Dekopin ambil positioning ini.

Jadi Rapimnas ini harapannya itu bisa mengambil isu-isu strategis yang tadi saya usulkan. Usulan ini, pikirkan sama-sama dan harus kita manfaatkan momentum pascapandemi ini sebagai kesempatan untuk restarting our economy on the right track. Restart ekonomi, right track. Pemerintahnya memberikan ruang, akademiknya mulai memasukkan yang saya sebut tadi sebagai ekonomi kerakyatan sebagai konsep perekonomian, lalu semua yang bergerak di bidang koperasi itu mengidentifikasi. Jadi nantinya ketika kita bicara tentang cita-cita Republik ini menghadirkan keadilan social, maka keadilan sosial itu bisa diraih lewat proses perekonomian yang baik, yang benar. Bukan sekedar dari tangan pemerintah, dengan begitu maka itu self sustain, Bapak/Ibu sekalian, kesejahteraan berkeadilan yang lewat mekanisme pasar self sustain. Kalau berkeadilan lewat kebijakan pemerintah, pemerintahnya ganti bisa tidak sustain, Bapak/Ibu. Tapi kalau lewat mekanisme pasar dia akan self sustaining. Nah, kalau boleh sebagai kalimat pada bahan penutup, selama ini kita mengasumsikan mekanisme pasar itu efisien, tapi kita tidak memasukkan unsur fairness justice dalam ekonomi pasar.

Itulah yang kira-kira nanti harus kita kerjakan sama-sama, jadi Bapak/Ibu sekalian saya hormati. Ini adalah harapan, ini adalah cerita tentang apa yang sudah dikerjakan dan bagaimana kedepannya itu bisa kita ekstrapolasi, bisa kita besarkan untuk seluruh Indonesia.

Nah kami berharap Dekopin bisa cerna ini semua, merenungkannya dan mudah-mudahan mewujudkan dalam bentuk langkah-langkahnya. Kami ingin sampaikan terima kasih kepada Ibu/Bapak sekalian yang konsisten berada di dalam rute yang senyap ini, rute yang sunyi ini ya. Ini adalah rute yang tidak banyak yang mengerjakan, betul, kan? Secara jumlah memang besar dari sisi jumlah institusinya dari sisi jumlah orangnya, tetapi secara porsi di dalam perekonomiannya. Nah kita ingin agar skala itu membesar, kami mempercayai Bapak/Ibu sekalian bahwa instabilitas dunia akibat kerusakan lingkungan itu luar biasa besar. Kita kan ditargetkan menurunkan satu setengah derajat suhu kita, bukan menurunkan, mencegah kenaikan sampai satu setengah derajat. Itu bukan pekerjaan yang ringan dengan aktivitas perekonomian yang kita miliki seperti sekarang.

Itu Bapak/Ibu sekalian kalau kita tidak kerjakan di skala mikro dengan memunculkan institusi-institusi seperti koperasi ini PR-nya akan luar biasa. Indonesia bisa mengerjakan dan Dekopin harus menjadi garda terdepannya.

Terima kasih.

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Sumber :

Channel Youtube : Anies Baswedan