Pidato sambutan Anies Baswedan pada Rapimnas Dewan Koperasi Indonesia


Sumber : Anies Baswedan

Saya bersyukur sekali Alhamdulillah bisa kembali mengikuti acara dekopin. Ketika saya dapat undangan pertama kali, diberitahu Pak Nudin ada surat undangannya. Saya sempat khawatir waduh ini pas jadwalnya itu ada acaranya di Palu, makanya saya bilang ini gimana caranya bisa pulang supaya tetap bisa hadir di acara Dekopin ini. Jadi, acara di sana belum selesai sebenarnya. Pagi-pagi sudah langsung terbang ke sini. Alhamdulillah untung ada pesawat langsung, Palu-Jakarta. Jadi alhamdulillah bisa sampai dan ketemu dengan Ibu/Bapak para pejuang koperasi yang punya tantangan yang cukup besar di Indonesia ini.

Jadi, saya dapat kesempatan untuk berbagi, cuma tadi diberi waktunya agak menakutkan malah. Kalau waktunya  15-20 menit itu malah punya bayangan. Kalau agak panjang ini kita khawatir, tapi saya ingin gunakan kesempatan ini untuk berbagi pandangan, berbagi harapan dan sedikit reflektif barangkali. Atas apa yang kita kerjakan selama ini, saya ingat kalau tidak salah tahun lalu diundang di acara di Senayan di Hotel Century Atlet.

Saya ingin mengulang sedikit soal itu, jadi undangannya adalah bicara tentang Ekonomi Kerakyatan dan pembahasan Ekonomi Kerakyatan ini sudah menjadi pembahasan rutin puluhan tahun. Puluhan tahun bukan hanya sekarang-sekarang, ya. Dari dulu kita bahas, tapi sebelum kita bicara lebih jauh, izinkan kami bercerita sedikit tentang konsep ekonomi yang biasa disebut sebagai sosial market economy. Kalau sekarang mereka malah menyebutnya social market environment economy.

Kebetulan saya ketika tugas di Paramadina, di kampus, kami secara khusus mengadakan program pengkajian pendalaman terkait dengan konsep social market ekonomy ini. Kita mengundang para ekonom-ekonom dari kampus-kampus di seluruh Indonesia untuk bekerja bersama, memikirkan tentang bagaimana social market economy ini secara konseptual dansecara eksekusi. Kami kerjasama dengan Jerman, karena Jerman yang sudah melaksanakan konsep ini.

Jadi, yang unik dalam penanganan ini dalam konteks di Jerman. Penanganan kemiskinan misalnya, kalau di sana itu tidak dikerjakan oleh kementerian yang mengurusi kesra, tapi kemiskinan itu dikerjakan oleh kementerian yang mengurusi perekonomian. Jadi, Menteri Pembangunan dan Kerjasama Ekonomi itulah yang mengurusi soal kemiskinan, padahal di sana ada Kementerian Sosial dan Tenaga Kerja. Kenapa itu dilakukan? Karena urusan kemiskinan, urusan ketimpangan itu diselesaikan melalui instrumen ekonomi, bukan melalui instrumen jejaring pengaman sosial.

Jadi pasar, perekonomian itu sengaja dirancang untuk memperhitungkan mereka yang miskin dan mampu mengakomodasi mereka dengan memberikan kesempatan-kesempatan yang setara di dalam sistem perekonomiannya. Yang biasa kita kerjakan, apalagi di Amerika Utara, biarkan market beroperasi, nanti ada yang disebut sebagai market failure, kegagalan pasar.

Market failure itu yang bisa menciptakan apa yang muncul dengan fenomena ketimpangan, fenomena kemiskinan. Market failure itu, sisa itu nanti yang akan dibantu oleh pemerintah dengan berbagai macam program, peran social. Jadi, membereskan persoalan ketimpangan kemiskinan, bukan semata-mata sebagai instrument, menggunakan instrumen pemerintah, tapi justru menggunakan instrumen pasar.

Nah, konsep ini, social market economy ini didorong menjadi alternatif ketiga, setelah kita punya dua yang kita tahu di dunia ini. Satu adalah sistem kapitalis, yang satu sistem sosialis. Ini menjadi jalan ketiga yang ditawarkan. Dia menggabungkan sistem ekonomi pasar, sistem ekonomi kapitalis dengan kebijakan-kebijakan sosial yang memastikan adanya kompetisi yang adil di dalam pasar dan di dalam meraih kesejahteraan bersama.

Jadi, negara tidak mengintervensi perencanaan produksi, tidak mengintervensi perencanaan ketenagakerjaan, penjualan, tapi negara menggunakan instrumen kebijakan moneter, menggunakan instrumen kredit, perdagangan, perpajakan, bea cukai, investasi untuk menciptakan sebuah perekonomian, untuk menciptakan sebuah pasar yang memastikan bahwa kesejahteraan dan memastikan bahwa terpenuhinya kebutuhan seluruh populasi bukan hanya sebagian populasi.

Nah, kita ketika melihat ini, konsep ini di dalam operasionalisasinya di sana rasanya seperti melihat sesuatu yang sering kita baca dalam literatur kita yang kita sebut sebagai konsep Ekonomi Pancasila, konsep Ekonomi Kerakyatan yang sudah digaungkan berdekade-dekade yang lalu. Nah, kalau kita lihat, saya cek di sejarahnya social market economy itu pertama kali di Jerman itu tahun 1949. Sebenarnya kita lebih awal bicara tentang bagaimana Ekonomi Kerakyatan, Ekonomi Pancasila itu sudah jauh sebelum tahun 1949, tapi ada bedanya Bapak/Ibu. Apa bedanya ini?

Bedanya, kita-kita yang membawa konsep Ekonomi Kerakyatan, konsep Ekonomi Pancasila berhenti di wilayah filsafat. Ekonomi Pancasila sebagai filosofi, sementara mereka yang berada di dalam social market ekonomy bergerak sampai modeling.

Bagaimana hitungan matematikanya? Bagaimana model perekonomiannya? Fungsi produksinya seperti apa? Jadi, di kita berhenti di wilayah filsafat, karena itu tidak bisa didebat, pasti semua setuju. Pasti semua setuju, filosofinya adil kok. Mana ada yang tidak setuju sama adil.

Pertanyaannya, bagaimana menjelaskannya? Nah, kalau boleh saya cerita sedikit sejarahnya. Bung Hatta dan generasinya berbicara tentang ekonomi yang berkeadilan, pasar yang berorientasi pada kesejahteraan semua, bukan berontasi pada kesejahteraan sebagian, itu generasi Bung Hatta. Generasi berikutnya dikirim sekolah ekonomi ramai-ramai ke negara yang mengadopsi sistem kapitalis. Berangkat rombongan ke sana dan kemudian di sana tidak sedikitpun belajar unsur sosialnya di dalam pasar.

Teknik-teknik kebijakannya, modeling ekonominya, semua mengasumsikan pasar tanpa unsur sosial dan berbondong-bondong mereka pulang ke Indonesia, lalu menyusun perencanaan perekonomian Indonesia. Tidak menggunakan kiblat yang disusun Bung Hatta, tapi menggunakan kiblat yang dipelajari ketika berada di sekolah tempat mereka belajar dan saya salah satu yang terbawa dalam rombongan itu.

Saya berangkat ke Amerika itu atas beasiswa Fulbright. Bidangnya international trade. Saya ini sebetulnya bidangnya bukan politik, saya ini sarjana ekonomi ambil bidangnya adalah bidang international trade, di sana bicara tentang economy internasional, economy policy dan tesis di final itu tentang currency market. Tentang apa tuh currency market, tuh? Pasar mata uang dan bagaimana mengelola currency market itu dengan benar, begitu kira-kira.

Tapi untungnya, Bapak/Ibu sekalian, untungnya pondasi yang saya bawa berangkat itu pondasi yang saya pelajari dari Bapak Mubyarto. Karena saya belajar ekonomi di Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, guru saya namanya Profesor Mubyarto yang bicara Ekonomi Panca sila. Jadi, ketika saya berangkat ke sana, saya lihat itu beda. Jadi ketika kemudian saya ketemu dengan instrumen-instrumen itu, saya kemudian membaca. Wah, begini rupanya cerita Republik ini. Ketika kami belajar Ekonomi Pancasila / Kerakyatan, tidak ada modelingnya, Bapak/Ibu. Tidak ada, mana modelnya? Coba kalau Bapak/Ibu tanya ini mana modelnya? Fungsi produksinya seperti apa? Coba ditunjukkan rumusnya, tidak kelihatan. Sementara ketika saya bicara belajar tentang ekonominya kapitalis di situ ada fungsi produksinya, di situ missing link kita.

Karena itu ketika saya kemarin bertugas sebagai Rektor di Universitas Paramadina, saya bicara; “Yuk kita bahas bagaimana menerjemahkan Ekonomi Kerakyatan, Ekonomi Pancasila dalam sebuah model-model perekonomian, model-model ekonomi yang matematikanya bisa dihitung”. Karena selama ini model itu berhenti di dalam filsafat, jadi kalau kemudian Bapak/Ibu ketemu dengan pengambil kebijakan bilang, “Pak, kami ingin kebijakannya berorientasi social.” Itu pengambil kebijakannya juga bingung. “Tunjukkan saya caranya.” Kalau dalam pidato saya bisa pidatokan, tapi kalau tunjukkan kebijakan apa yang harus kerjakan? Kenapa contoh dari social market economy di Jerman itu menarik? dan itu ada ilmunya sekarang. Dan yang menarik, kampus-kampus di Amerika Serikat mulai mengimpor dosen-dosen dari Jerman untuk mengajarkan social market economy di pusatnya kapitalisme di Amerika Serikat.

Bagaimana pasar dengan spirit keadilan? Nah, ini Bapak/Ibu sekalian PR yang harus kita tuntaskan. Ketika kita mengkaji ini dengan banyak ekonom-ekonom Indonesia, semuanya merasa alhamdulillah akhirnya filosofi yang kita punyai itu, punya instrumen aplikasinya. Ini kemudian yang harus kita dorong, jadi kalau kita tidak membereskan ini di level para pakar ekonomi, maka sampai kapanpun kita akan bergerak 2 arah.

Filosofinya kerakyatan, alatnya kapitalis, karena alatnya kita nggak punya. Yang bergerak kapitalis juga mencoba untuk mencari justifikasi filosofinya, bukan? Dengan cara negara hadir memberikan bantuan-bantuan sosial atas ketimpangan yang muncul akibat pendekatan yang kapitalis. Nah, ini Bapak/Ibu sekalian yang saya merasa PR, ekonomi kerakyatan ini masih slogan. Masih menjadi filsafat, jadi ke depan kita harus melakukan pengembangan keahlian di dalam menerjemahkan filsafat Ekonomi Kerakyatan menjadi instrumen kebijakan Ekonomi Kerakyatan.

Jadi ini membuat Ekonomi Pancasila, Ekonomi Kerakyatan itu tidak menjadi

sesuatu yang utopis. Kalau sekarang ngobrol tentang Ekonomi Pancasila di kalangan ekonom, utopis itu. Pasti begitu.  Secara terbuka ya, semuanya pasti baguslah. Namanya juga filsafat keadilan, tidak ada yang tidak setuju, tapi dalam prakteknya model matematikanya tidak ada, kebijakan publik yang kokohnya juga belum ditemukan. Nah, salah satu yang sering juga disebut dan juga sering dibahas tapi terasa masih sebagai slogan, itu adalah kalimat; Koperasi adalah soko guru perekonomian Indonesia. Mirip bukan? Iya, mirip. Koperasi sebagai soko guru, soko guru itu artinya apa, sih? Tiang utama, yang di tengah, tiang penyangga. Dan kenyataannya, apakah koperasi ini sudah menjadi soko guru atau masih sekedar pavilion? Ini kenyataannya, nih. Ya, kan? Kita masih di teras, belum masuk halaman utama.

Dan apakah koperasi sudah menjadi penyedia solusi utama? Bagi masalah-masalah besar bangsa, masalah-masalah besar perekonomian, masalah-masalah besar kesejahteraan, rasanya belum. Betul itu? Rasanya belum. Dan bila koperasi itu disebut, kira-kira top of mind di publik apa? Koperasi simpan pinjam, Bapak/Ibu. Iya, kan? Itu top of mind.

Saya sempat minta tim saya untuk ngecek apa namanya statistiknya. Statistiknya itu 6 dari 16 sektor yang tinggi atau 5 sektor utama. 49,6% itu jasa keuangan dan asuransi. 35% pertanian, kehutanan, asuransi. Lalu makanan minuman akomodasi 10%, perdagangan besar 1,6%, jadi separuh itu bidangnya, jasa keuangan.

Jadi simpan pinjam dan di antara simpan pinjam itu ada yang sangat terkenal; KospinJasa Pekalongan. Ini catatannya nilainya sudah sampai Rp.12 triliun. Pengelolaan bisnisnya lebih dari Rp.20 triliun. Ini nilai yang besar, tapi apa sudah menjadi soko guru perekonomian? Belum. Nah, sekarang kita coba lihat di negara lain. Bagaimana kira-kira di negara lain?

Kita jangan hanya membandingkan dengan seharusnya, tapi kita membandingkan dengan yang sudah senyatanya bisa dikerjakan. Saya rasa Bapak/Ibu sekalian punya banyak contoh, tapi izinkan saya ambil contoh satu aja yang produknya kerasa kita di sini, Selandia Baru.

Selandia baru itu punya koperasi susu yang anggotanya 9.000 peternak, ini nggak kalah banyak dengan anggota di Bandung. Ini 9.000 peternak nih di sana, tapi koperasi ini menguasai 30% ekspor (produk) susu dunia. Saya ulang, 30% ekspor (produk) susu dunia. Dan kita kenal di Indonesia, ada mentega Anchor, susu Anlene. Nah, ini banyak sekali, namanya Fonterra. Fonterra ini koperasi di sana.

Perusahaan terbesar di sebuah negara justru sebuah koperasi. Jadi, kalau di New Zealand mereka bisa bilang bahwa koperasi adalah soko guru perekonomian New Zealand. Bisa itu, boleh ngomong. Karena yang terbesar adalah koperasi. Menguasai ekspor produk susu dunia.

Kita punya di Indonesia, namanya KPSBU, Koperasi Peternak Susu Bandung Utara (Lembang) dan anggotanya di sana itu lebih 8.000, kalau Selandia Baru 9.000 ini lebih dari 8.000. Populasi sapi perahnya itu di atas 20.000 dan produksi sekarang sekitar 150 ton per hari. Nah, pertanyaannya apakah KPS BU Lembang ini sudah menjadi soko guru perekonomian di Lembang dan Bandung? Apakah bisa kita bilang bahwa perannya sudah mendekati peran Fonterra di Selandia Baru? Belum.

18:58

Apakah dia nantinya bisa seperti Fonterra? Harus bisa! Ini tugas kita bersama. Jadi kita punya potensinya. Harus bisa. Harus bisa. Jadi kita ini ketika melihat kenyataan loh ukurannya 9.000, sini 8.000 yang sana bisa menguasai. Ini masalah, harus bisa dan kita harus mengusahakan itu.

Ada satu contoh lain, Pak. Di daerah Basque, Basque itu di Spanyol. Ada Koperasi namanya Mondragon, bidangnya bisnis, keuangan, retail. Ini pekerjanya 80 ribu orang, ada 250 anak perusahaan dan mereka punya sebuah kebijakan yang unik, yaitu tentang rasio upah. (Rata-rata) rasio upah pegawai paling rendah dan paling tinggi tidak boleh (lebih dari) 5x lipat dan mereka ikut menentukan arah kebijakan.

Ketika Spanyol kemarin menghadapi kontraksi krisis global, mereka bersama-sama mengambil keputusan, bukan mengurangi tenaga kerja. Tapi mengurangi gajinya, mengurangi anggarannya secara bersama-sama, tapi tenaga kerjanya tidak dikurangi. Inilah contoh ketika fungsi produksinya itu berubah, kita biasanya dalam perekonomian itu total produktivitas itu ada fungsinya. Ada sumber daya kapital, nomor satu. Labor, tanah, teknologi. Kemudian dia menjadi sebuah satu persamaan fungsi produksi. Nah, ini contoh Ekonomi Kerakyatan. Ada juga contoh lain di Yunani, Pulau Sifnos. Ini penduduknya sekitar 3.000 orang bikin koperasi memproduksi listrik dari sumber terbarukan untuk 100% kebutuhan listrik sendiri. Jadi mereka bikin panel surya, bikin kincir angin dan kemudian mereka gunakan itu untuk semuanya dan di Jerman hari ini 50% energi terbarukan itu dihasilkan dan dimiliki oleh komunitas-komunitas bentuknya koperasi, tapi Bapak/Ibu sekalian, 50% dari energi terbarukan di Jerman dihasilkan lewat koperasi. Jadi Ini contoh nyata.

Ketika filosofi itu diturunkan dalam bentuk kebijakan, diturunkan dalam bentuk model, begitu dieksekusi dahsyat dampaknya. Itu tadi cerita Selandia Baru, cerita Spanyol, cerita Yunani. Sekarang saya cerita Jakarta boleh ya? Cerita Jakarta walaupun sudah pension. Jadi ketika kami bertugas di Jakarta, kita melihat ini tidak bisa kita membiarkan begini saja. Negara dan rakyat berinteraksi tanpa ada sebuah institusi yang mengatur bersama, jadi kita gunakan pendekatan koperasi ini untuk sebuah policy experiment, policy breakthrough yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kami ini di pemerintah kalau membangun rumah susun, lalu kami menyediakan pengelola rumah susun, lalu pengelola rumah susun itu akan berurusan dengan setiap warga yang ada di situ. Tagihannya, maintenance-nya, begitu kira-kira. Semua kita kerjakan nanti pada bayar, tuh bulanan. Seperti apartemen, nah Kampung Aquarium, Kampung Akuarium itu kampung yang dulu digusur, hilang, kemudian kami bangun kembali kampung itu. Dibangunlah tower di sana dan warganya kembali masuk ke sana, nah, ini kita ubah konsepnya. Bukan pemerintah berurusan dengan perwarga. Kami minta mereka membuat koperasi untuk mengelola itu semua, namanya Koperasi Aquarium Bangkit Mandiri.

Mereka menjadi entitas berkumpulnya seluruh warga yang tinggal di sana harus anggota koperasi, tanpa anggota koperasi tidak bisa ikut tinggal di sana, harus. Lalu seluruh pengelolaan rumah susun itu dikelola oleh koperasi. Pembayaran bulanan oleh koperasi, jadi negara tidak berurusan langsung dengan rakyat, tapi berurusan lewat koperasi. Kan kita biasanya panggil manajer, bikin PT, mengelola rumah susun. Manajemen building, kenapa manajemennya PT? Apa yang terjadi ketika (koperasi) ini dilakukan? Semua memiliki peran yang sama, ya Bapak/Ibu tahulah prinsip pengelolaan koperasi.  Apa yang terjadi?

Kemudian warga itu bersatu, bekerja bersama dan berurusan dengan pemerintah sebagai sebuah entitas. Jadi kami bukan malah berinteraksi dengan warga langsung dan memecah belah warga, bukan. Justru Kami ingin warga bersatu lewat entitas koperasi, ini sudah dijalankan dan itu pertamakali. Ada pemerintah mengelolakan sebuah tempat miliknya, in ikan asetnya asset pemerintah, tapi dikelola oleh koperasi. Itu lamanya di mana? Lamanya cari regulasinya, Bapak/Ibu.

Apa artinya? Kita tidak memiliki policy framework yang memberikan ruang pada koperasi untuk mengelola seperti ini. Seperti yang saya katakan tadi, selama kita tidak menerjemahkan ke dalam bentuk regulasi, ini sulit koperasi itu tumbuh, sulit. Regulasinya disiapkan, jadi kami itu bertarungnya di mana? Nanti kalau pemeriksaan BPK bagaimana? Betul, kan? Nanti kalau perhitungan nilainya yang layak seperti apa? Wah itu rumitnya di situ.

Nah ini sudah kita lakukan, jadi kami ingin bilang begini Bapak/Ibu sekalian. Kalau kita mau menanyakan apa yang akan dikerjakan besok, jangan tanya apa isinya besok yang mau dikerjakan. Semua orang bisa ngarang apa saja Bapak/Ibu. Bapak/Ibu sekalian cari semua calon gubernur, calon walikota, calon presiden bicara depan Bapak/Ibu sekalian, tanya; “apa yang akan dikerjakan untuk koperasi, semua jawabannya menyenangkan kuping Bapak/Ibu sekalian. Iya, pasti semuanya akan bilang oh iya, kami akan bikin koperasi top, koperasi nomor satu. Semua akan bilang begitu dan Bapak/Ibu dengerin. Wah, ini cocok ini! Ini cocok sama kuping saya. Begitu ya. Pas tahun berikutnya berjalan kok tidak ada kenyataannya, ya?

Kami tidak mau menawarkan itu Bapak/Ibu sekalian, yang kami tawarkan adalah rekam jejak, kenyataan yang sudah terlaksana itu. Kenapa? karena ini rumus ini dalam psikologi, psikologi 101 ini semua yang belajar di ilmu psikologi tahu; the best predictor of your future behavior is your post behaviour. Prediktor terbaik untuk perilaku di masa depan adalah perilaku di masa lalu. Itu prediktornya, bukan kata-kata kita tentang masa depan, bukan. Bapak/Ibu juga kalau merekrut pegawai tenaga kerja pastikan tanya, kalau ditanyain; cari petugas jaga malam ajalah paling gampang. Sanggup tidak jaga malam? Lek-lekan (begadang)? Tidak tidur. Sanggup tidak? Pasti bilang sanggup. Dua malam tidak tidur? Oh, siap! Bapak/Ibu terus percaya gitu? Tidak mungkinlah. Bapak/Ibu lihat CV-nya, tidak pernah tugas jaga malam mengaku bisa jaga malam. Tidak akan terjadi, jadi Bapak/Ibu sekalian berhentilah fokus pada visi-misi, karena visi misi itu bisa disusun orang lain dan bisa indah sekali. Lupakan itu.

Visi-misi selalu. Setiap kali ada kandidat datang, saya ingin dengar visi-misi hanya mesti bagus bapak ibu dapat dari visi misi, ya mesti bagus Bapak/Ibu. Mesti bagus. Terus apa yang Bapak/Ibu dapat dari visi-misi yang bagus itu? Keterpesonaan sementara. Iya, itu Bapak/Ibu dapat. Tanyakan rekam jejak, tanyakan rekam jejak. Visi-misi itu imajinatif tapi rekam jejak itu realita, rekam jejak itu kenyataan.

Nah, kami mencoba di Jakarta, ketika kemarin kami coba dengan pendekatan. Ini makanya saua katakan tadi namanya policy experiment, policy breakthrough, di mana kita siapkan regulasinya supaya koperasi itu jalan sekarang. Harapan saya, pendekatan ini diteruskan. Kita lakukan untuk Kampung Bukit Duri, Bukit Duri itu warganya digusur kita buatkan rumah susun yang baru, sekarang mereka menggunakan koperasi juga untuk mulai itu. Oke, nanti Kampung Bayam menggunakan koperasi juga untuk mengelola. Nah, kita berharap nanti semua yang baru-baru di Jakarta itu menggunakan koperasi. Kita sudah mulai, mudah-mudahan diteruskan. Tanda tangannya sudah bukan di saya lagi soalnya. Kan itu soal tanda tangan, nah tapi arahnya sudah dan berjalan. Jadi Bapak/Ibu sekalian, ketika awal tahun ini, kami semua diundang para gubernur ke Nusantara ibu kota baru. Kami diminta untuk membawa tanah dan air, kami tidak bawa air mistis-mistis. Kami tidak bawa tanah mistis-mistis, bukan. Kami tidak bawa itu semua yang dari leluhur mana, tidak. Yang kami bawa itu adalah tanah dari Kampung Aquarium untuk membawa pesan bahwa Republik ini didirikan oleh rakyat kebanyakan dan kita harus mengelolanya dengan pendekatan yang mengandalkan pada pendekatan disusun konstitusi kita berbasis kerakyatan. Tanpa penggusuran yang seperti biasa kita kerjakan, relokasi itu tidak bisa dihindari Bapak/Ibu sekalian.

Dalam semua pembangunan relokasi tidak bisa dihindari, tapi pendekatannya harus pendekatan yang tepat. Nah ini yang kita bawa kemarin untuk bawa pesan itu, walaupun lalu ramai karena saya bawa tanah dari Kampung Akuarium, tapi kita inging membawa pesan bahwa kalau ke depan kita harus bicara tentang bagaimana membuat koperasi. Ekonomi Kerakyatan menjadi salah satu strategi utama dalam mengendalikan dampak berlebih dari Ekonomi Pasar Bebas. Kapitalisme dan Ekonomi Pasar Bebas ini Bapak/Ibu sekalian, sebetulnya ini relatif baru. Sebelum kapitalisme apa namanya, Bapak/Ibu sekalian? Sebelum ada kapitalisme. Feodalisme, Bapak/Ibu. Itu sebelum ada kapitalisme namanya feodalisme dan di bangsa kita punya feodalisme itu. Ada.

Sebelum ada social market economy, sebelum ada kapitalisme. Ekonomi kita ini dikuasai oleh tuan tanah dan kaum aristokrat. Kaum aristocrat, para ningrat. Mereka memperkerjakan orang-orang kecil dan orang-orang kecil ini nurut saja karena mereka menghadapi potensi kelak kelaparan, ketidakterdidikan, penderitaan. Nah, ini sudah berjalan Panjang, baru kemudian mulai abad 15, 16 di Eropa muncul terobosan tentang perekonomian berbasis kapitalisme dan feodalisme ini di Eropa mengalami pergeseran. Tapi di tempat kita feodalisme itu masih jalan terus agak Panjang, jadi saya ingin sampaikan bahwa munculnya kelas pedagang, munculnya variasi market base ekonomy itu fenomena baru dan punya tingkat kesuksesan yang bervariasi. Nah, kita melihat Bapak/Ibu sekalian. Kapitalisme ini telah berhasil mempercepat peningkatan kesejahteraan penduduk bumi secara agregat, secara agregat kita menyaksikan itu. Jadi gedung ini kenyamanan yang kita nikmati ini adalah contoh bagaimana sebuah pendekatan itu berhasil memberikan kenyamanan hidup bagi begitu banyak orang, tapi dia punya dampak side effect yang tidak kalah dahsyat.

Kita menyaksikan, kita di ruangan ini AC-nya nyaman bukan? Terangnya enak bukan? Tapi untuk ini bisa terjadi apa Bapak/Ibu sekalian? Emisi yang dihasilkan oleh gedung-gedung seperti ini, itu menyumbang 30% dari emisi efek rumah kaca di dunia ini. Sumbangannya 30% dari gedung. Kenapa? Lah wong AC-nya nyaman begini, terus residunya kemana Bapak/Ibu? Betonnya, lalu listriknya. Listriknya dimunculkan dari mana? PLTU Bapak/Ibu. PLTU-nya di sekitar Jakarta itu keluar dalam bentuk cerobong asap yang mengotori lingkungan kita.

Jadi ada ketidakpedulian pada kerusakan lingkungan, ada ketimpangan yang melebar akibat distribusi income dan kesejahteraan yang tidak setara. Ada kegagalan pasar dan ada siklus ekonomi yang hoom and bust. Nah ini Bapak/Ibu sekalian, seperti juga perkembangan teknologi, perkembangan ilmu itu mengalami fase-fasenya dan sekarang ini kita menyaksikan bahwa feodalisme dialihkan dengan sistem kapitalis lalu ada alternatif sosialis lalu sekarang muncul social market economy.

Nah, bagaimana dengan kita di Indonesia? Dari pengalaman kami, kalau melihat di Jakarta caranya bukan dengan memusuhi satu system, tapi dengan membuat terobosan dan dibesarkan, terobosan dibesarkan. Jadi kita harus mendorong perubahan, tapi perubahan itu tidak harus drastic, perubahan itu bisa dikerjakan secara bertahap. Sembari koperasinya pun mengalami pertumbuhan secara bertahap, jadi kita membayangkan Bapak/Ibu sekalian, membangun institusi-institusi alternatif di dalam sistem yang lama dan salah satu institusi yang bisa diandalkan adalah institusi koperasi. Itu yang paling bisa diandalkan.

Jadi ketika mendorong perkembangan koperasi, ini tidak berarti kemudian kita menuntut perubahan perekonomian secara keseluruhan. Namun kita membangun organisasi yang lebih menjanjikan kesetaraan bagi mereka yang terlibat di dalamnya dan bila koperasi ini bisa membuktikan, bisa menyelesaikan masalah-masalah besar, bisa menyelesaikan masalah-masalah mendasar, tidak hanya sebagai lembaga simpan pinjam, maka koperasi dengan sendirinya akan tumbuh.

Koperasi akan beralih menjadi mainstream dan insya Allah bisa menjadi mesin utama perekonomian Indonesia. Jadi kita ingin Bapak/Ibu sekalian punya koperasi sekelas Eonterra, yang bisa menghasilkan keadilan sosial seperti yang di Mondagron. Yang bisa seinovatif seperti di Sifnos Island, nah Bapak/Ibu sekalian berada di Dekopin itu punya contoh-contoh champion koperasi, betul? Ada contoh-contoh simple koperasi, itu dibesarkan. Strateginya itu dibesarkan dan carikan regulasi pemerintah apa yang menghambat itu menjadi besar. Itu diubah, itu diberikan ruang untuk bisa berkembang. Jadi saya melihat PR untuk mengerjakan ini itu besar tapi doable.

Hanya kita-kita yang berada di dalam pemerintahan itu harus mau mencari ruang policy apa yang harus diubah? Ruang policy apa yang harus diberikan? Jadi kalau boleh Bapak/Ibu sekalian mumpung lagi Rapimnas, Bapak/Ibu identifikasi 4 hal. Satu, terkait kebijakan untuk koperasi ini, hal apa yang harus diteruskan dan ditingkatkan oleh pemerintah? Dua, hal apa yang harus dikoreksi oleh pemerintah? Tiga, hal apa yang harus dihentikan oleh pemerintah? Empat, terobosan apa yang harus dikerjakan oleh pemerintah?

Itu semua terkait dengan koperasi, empat ini Bapak/Ibu. Jadi kita bukan bicara tentang Ekonomi Kerakyatan berkeadilan dengan utopia terus mau diterjemahkan ke Indonesia. Menerjemahkan keseharian kita, it won’t work, tidak jalan. Kita lihat prosesnya jangan deduktif; kira-kira kalau gitu teorinya, lalu kita mau terapkan. Jangan! Pendekatanny lebih induktif. Lihat kenyataannya lalu identifikasi empat itu.

Apa yang harus diteruskan dan ditingkatkan? Apa yang harus dikoreksi? Lalu apa yang harus dihentikan atau diganti? Lalu yang keempat adalah apa yang baru, apa yang harus dimulai? Dari sisi koperasinya, identifikasi, champio­nchampion koperasinya siapa? Harus think big, start small. Berpikirnya besar, kerjanya mulai dari yang kecil, yang nyata nih. Jadi kalau tadi kita bicara koperasi peternak susu, Susu Bandung Utara misalnya atau Kospin misalnya. Apapun, Bapak/Ibu yang lebih tahu. Bapak/Ibu yang berada di dalam institusi ini. Mana yang bisa jadi champion, mana yang bisa menjadi pembuka identifikasi. Lalu seriusi untuk itu diberikan ruang tumbuh berkembang, sehingga nantinya kita bisa memiliki contoh-contoh Bapak/Ibu sekedar disinformasi, saya tidak menghentikan pengelolaan rumah-rumah susun lama di Jakarta diubah jadi koperasi. Tidak, Bapak/Ibu.

Saya menerapkan pada yang baru, yang lama belum diganti. Kenapa? Biar yang baru ini terbukti dulu. Jalan terbukti berapa tahun, 5 tahun, 6 tahun baru dilihat. Nah baru yang lainnya mengalami perubahan. Kita kadang-kadang kalau bikin perubahan tuh ingin sekarang, ingin lakukan tepuk tangan buat pemilu ditunjukkan, Bapak/Ibu. Jangan.

Bubar semua ini. Bukan, ini perubahan untuk kesejahteraan rakyat. Jangan kita kerjakan semuanya; pokoknya asal kelihatan angka statistiknya keren. Senyatanya (harus) terjadi perubahan. Jadi kami kebijakannya yang baru kita terapkan dengan pola koperasi. Nah, ini kira-kira ke depan saya berharap Dekopin ambil positioning ini.

Jadi Rapimnas ini harapannya itu bisa mengambil isu-isu strategis yang tadi saya usulkan. Usulan ini, pikirkan sama-sama dan harus kita manfaatkan momentum pascapandemi ini sebagai kesempatan untuk restarting our economy on the right track. Restart ekonomi, right track. Pemerintahnya memberikan ruang, akademiknya mulai memasukkan yang saya sebut tadi sebagai ekonomi kerakyatan sebagai konsep perekonomian, lalu semua yang bergerak di bidang koperasi itu mengidentifikasi. Jadi nantinya ketika kita bicara tentang cita-cita Republik ini menghadirkan keadilan social, maka keadilan sosial itu bisa diraih lewat proses perekonomian yang baik, yang benar. Bukan sekedar dari tangan pemerintah, dengan begitu maka itu self sustain, Bapak/Ibu sekalian, kesejahteraan berkeadilan yang lewat mekanisme pasar self sustain. Kalau berkeadilan lewat kebijakan pemerintah, pemerintahnya ganti bisa tidak sustain, Bapak/Ibu. Tapi kalau lewat mekanisme pasar dia akan self sustaining. Nah, kalau boleh sebagai kalimat pada bahan penutup, selama ini kita mengasumsikan mekanisme pasar itu efisien, tapi kita tidak memasukkan unsur fairness justice dalam ekonomi pasar.

Itulah yang kira-kira nanti harus kita kerjakan sama-sama, jadi Bapak/Ibu sekalian saya hormati. Ini adalah harapan, ini adalah cerita tentang apa yang sudah dikerjakan dan bagaimana kedepannya itu bisa kita ekstrapolasi, bisa kita besarkan untuk seluruh Indonesia.

Nah kami berharap Dekopin bisa cerna ini semua, merenungkannya dan mudah-mudahan mewujudkan dalam bentuk langkah-langkahnya. Kami ingin sampaikan terima kasih kepada Ibu/Bapak sekalian yang konsisten berada di dalam rute yang senyap ini, rute yang sunyi ini ya. Ini adalah rute yang tidak banyak yang mengerjakan, betul, kan? Secara jumlah memang besar dari sisi jumlah institusinya dari sisi jumlah orangnya, tetapi secara porsi di dalam perekonomiannya. Nah kita ingin agar skala itu membesar, kami mempercayai Bapak/Ibu sekalian bahwa instabilitas dunia akibat kerusakan lingkungan itu luar biasa besar. Kita kan ditargetkan menurunkan satu setengah derajat suhu kita, bukan menurunkan, mencegah kenaikan sampai satu setengah derajat. Itu bukan pekerjaan yang ringan dengan aktivitas perekonomian yang kita miliki seperti sekarang.

Itu Bapak/Ibu sekalian kalau kita tidak kerjakan di skala mikro dengan memunculkan institusi-institusi seperti koperasi ini PR-nya akan luar biasa. Indonesia bisa mengerjakan dan Dekopin harus menjadi garda terdepannya.

Terima kasih.

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Sumber :

Channel Youtube : Anies Baswedan

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *