Maria Duchateau saat tiba di Bandara Schipol, Belanda (kiri) dan Sutan Sjahrir (kanan).(geheugenvannederland.nl/Wikipedia)
Sutan Sjahrir adalah seorang pemimpin dan perdana menteri kemerdekaan revolusioner Indonesia. Ia digambarkan sebagai seorang intelektual Indonesia yang idealis. Sutan Sjahrir menjadi perdana menteri Indonesia pertama pada 1945, setelah berkarier sebagai penyelenggara utama nasionalis Indonesia tahun 1930-an dan 1940-an. Dari situ, Sjahrir mulai bekerja keras sebagai Perdana Menteri untuk memastikan Indonesia memenuhi namanya. Ia dianggap sebagai seorang intelektual karena Sjahrir lebih mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan politiknya. Sjahrir mengutamakan negaranya di atas kebutuhannya sendiri.
Awal Hidup
Sutan Sjahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada 5 Maret 1909. Sjahrir merupakan putra dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah. Sang ayah menjabat sebagai penasehat Sultan Deli dan kepala jaksa (landraad) di Medan. Pada awal 1926, Sutan Sjahrir menyelesaikan pendidikannya di MULO ( Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau Sekolah Menengah Pertama pada zaman kolonial Belanda. Setelah itu, ia ke sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung. AMS menjadi sekolah termahal pada waktu itu di Hindia Belanda. Di AMS, Sjahrir bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan aktor. Setiap hasil pementasan digunakan Sjahrir untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volksuniversiteit atau Cahaya Universitas Rakyat. Di kalangan sekolah AMS, Sjahrir menjadi seorang bintang. Ia menjadi murid yang aktif dalam klub debat di sekolahnya. Sjahrir juga terjun dalam aksi pendidikan melek huruf secara gratis untuk anak-anak dari keluarga yang tidak mampu dalam Tjahja Volksuniversiteit. Pada 20 Februari 1927, Sjahrir masuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesië. Perhimpunan ini kemudian berubah nama menjadi Pemuda Indonesia. Pemuda Indonesia menyelenggarakan Kongres Pemuda Indonesia, kongres monumental yang mencetus Sumpah Pemuda 1928.
Pengasingan
Pada 1929, Sjahrir sampai di Belanda untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Amsterdam. Kemudian, ia menjadi mahasiswa hukum di Universitas Leiden. Sutan Sjahrir sempat menjadi sekretaris Perhimpunan Indonesia, sebuah organisasi pelajar Indonesia di Belanda. Sjahrir juga menjadi salah satu pendiri Jong Indonesia, sebuah perkumpulan pemuda Indonesia untuk membantu perkembangan pemuda Indonesia untuk generasi berikutnya. Selama aktivitas politiknya sebagai mahasiswa di Belanda, Sjahrir menjadi lebih dekat dengan aktivis kemerdekaan, Mohammad Hatta. Pada 1931, Sjahrir kembali ke Indonesia. Sekembalinya Sjahrir ke Indonesia, ia bergabung ke dalam organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI Baru) pada Juni 1932 yang kemudian diketuainya. Pada 1932, Mohammad Hatta yang juga telah kembali ke Indonesia, turut memimpin PNI Baru. Bersama dengan Hatta, Sjahrir mengemudikan PNI Baru sebagai organisasi pencetak para kader pergerakan. Karena merasa takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934, pemerintah Belanda menangkap dan mengasingkan Sjahrir beserta Hatta. Mereka menghabiskan masa pembuangan selama enam tahun di Banda Neira, Kepulauan Banda.
Proklamasi Indonesia
Pada masa pendudukan Jepang, Sjahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis (gerakan radikal ideologi nasional). Sjahrir meyakini bahwa Jepang tidak akan memenangkan perang. Oleh karena itu, kaum pergerakan harus mempersiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di waktu yang tepat. Saat itu, Sutan Sjahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia secara sembunyi-sembunyi dengan mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri. Berita ini kemudian disampaikan Sjahrir kepada Moh. Hatta. Sjahrir yang didukung dengan para pemuda lain mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 15 Agustus, karena Jepang sudah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Soekarno dan Hatta yang belum mendengar berita menyerahnya Jepang pun tidak melakukan apa-apa. Mereka menunggu keterangan dari pihak Jepang. Proklamasi juga harus dilakukan sesuai prosedur lewat keputusan Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), bentukan Jepang. Rencana PPKI, kemerdekaan Indonesia akan diproklamasikan pada 24 September 1945. Tindakan yang dilakukan oleh Soekarno dan Hatta ini membuat para pemuda merasa kecewa. Sebab itu, agar Soekarno dan Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang, Sjahrir bersama para pemuda lain menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus 1945. Mereka diasingkan ke Rengasdengklok. Setelah didesak oleh para pemuda, Soekarno dan Hatta pun setuju untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, yaitu pada 17 Agustus 1945. Baca juga: Tan Malaka: Masa Muda, Perjuangan, Peran, dan Akhir Hidupnya.
Penculikan Soekarno dan Hatta
Pada 26 Juni 1946, setelah Sjahrir menjadi Perdana Menteri Indonesia, ia diculik oleh oposisi Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas diplomasi yang dilakukan Kabinet Sjahrir II. Peristiwa ini terjadi di Surakarta. Diplomasi Sutan Sjahrir dianggap sangat merugikan perjuangan bangsa Indonesia pada saat itu. Kelompok ini ingin mendapat pengakuan kedaulatan penuh yang dicetuskan oleh Tan Malaka. Sedangkan Kabinet Sjahrir II hanya menuntut pengakuan atas Jawa dan Madura. Perdana Menteri Sjahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras. Ia diculik oleh kelompok Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soedarsono dan 14 pimpinan sipil. Salah satu di antara mereka adalah Tan Malaka. Presiden Soekarno yang mendengar kabar penculikan ini merasa sangat marah. Ia memerintahkan Polisi Surakarta untuk menangkap para pimpinan tersebut. Pada 1 Juli 1946, ke-14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan. Sehari kemudian, 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 dipimpin Mayor Jenderal Soedarsono menyerang Wirogunan dan membebaskan ke-14 pimpinan yang ditahan. Pada 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjata dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta.
Diplomasi
Setelah tragedi penculikan, Sjahrir hanya bertugas menjadi Menteri Luar Negeri. Tugas Perdana Menteri pun diambil alih Presiden Soekarno. Namun, pada 2 Oktober 1946, Soekarno kembali menunjuk Sjahrir untuk menjadi Perdana Menteri agar dapat melanjutkan Perundingan Linggarjati. Perundingan ini kemudian berhasil ditandatangani pada 15 November 1946. Agar Republik Indonesia tidak runtuh, Sjahrir menjalankan siasatnya. Sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi pencetus perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer. Kabinet Parlementer bertanggung jawab kepada KNIP sebagai lembaga yang punya fungsi legislatif. RI sendiri juga menganut sistem multipartai. Kepada massa rakyat, Sutan Sjahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti kekerasan. Dengan siasat-siasat tersebut, Sjahrir berusaha menunjukkan ke dunia intenrasional bahwa revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan demokratis. Belanda kerap melakukan propaganda bahwa orang-orang di Indonesia merupakan gerombolan yang brutal, suka membunuh, merampok, dan lainnya. Untuk mematahkan propaganda tersebut, Sjahrir menginisiasi penyelenggaraan pameran kesenian yang kemudian diliput dan dipublikasikan oleh para wartawan luar negeri.
Akhir Hidup
Tahun 1955, Partai Sosialis Indonesia gagal mendapat suara banyak dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Tahun 1962 sampai 1965, Sjahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai mengalami stroke. Sutan Sjahrir ditangkap karena partai yang ia dirikan, Partai Sosialis Indonesia diduga telah terlibat dalam pemberontakan PRRI. Setelah itu, Sjahrir diizinkan untuk berobat ke Zürich Swiss. Sjahrir meninggal di Swiss pada 9 April 1956. Di tanggal yang sama, melalui Keppres Nomor 76 Tahun 1966, Sutan Sjahrir dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
“Diantara sekian banyak negarawan dunia, jadi bukan hanya indonesia tetapi dunia. Yang paling saya kagumi dan paling saya hormati adalah Bung Hatta karena saya memang belum pernah, belum sempat berbincang-bincang langsung dengan beliau tetapi dari kejauhan saya senantiasa mengagumi Bung Hatta. Terutama mengenai filsafat kerakyatan Bung Hatta yang Saya kira tidak ada duanya di planet bumi ini, saya kira yang paling berhak untuk bicara tentang filsafat kerakyatan Bung Hatta adalah Putri Sulung beliau yaitu Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono, maka Ibu Prof. Meutia saya berterima kasih sekali atas berkenan anda untuk berkisah tentang filsafat kerakyatan Bung Hatta dalam kesempatan ini dan selanjutnya waktu dan tempat saya serahkan sepenuhnya kepada Prof. Dr.
Meutia Farida Hatta Swasono silahkan.” – Jaya Suprana.
“Terima kasih Pak, saya bersyukur bisa mempunyai kesempatan di sini dan Bapak minta saya untuk bicara soal filsafat Bung Hatta yang dilihat sebagai filsafat kerakyatan Bung Hatta kan dan dalam gaib ini saya melihatnya juga sebagai filsafat kenegaraan karena Bung Hatta itu seorang negarawan dari kecil, bukan dari kecil dari muda mahasiswa mempersiapkan diri untuk berpikir Indonesia Merdeka jadi dia memupuk diri sebagai negarawan.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Mohon maaf kalau boleh saya nimbung, kok bisa beliau itu sejak muda itu punya yang menurut saya itu obsesi beliau adalah untuk Indonesia Merdeka, padahal waktu itu kan Indonesia belum ada. Indonesia aja kan belum ada, adanya Hindia Belanda ya kok bisa Bung Hatta sejak muda itu punya cita-cita Indonesia Merdeka? silahkan.” – Jaya Suprana.
“Ya terima kasih mungkin Ini pengalaman hidupnya dari kecil, ketika masih kecil umur 6 tahun itu ada Perang Kamang di Sumatera Barat dan di Bukittinggi tempat beliau waktu itu masih anak-anak tinggal. Bung Hatta itu punya kebiasaan kalau makan malam, makan siang, makan malam bersama-sama keluarganya jadi percakapan orang dewasa ini mulai dari kakek , nenek, ibu kemudian juga om-omnya ke paman-pamannya itu. Mengenai Perang Kamang ini juga menceritakan tentang Serdadu yang kasar kepada rakyat itu terpatride di hatinya, jadi Belanda jahat. Waktu sekolah di Padang ya, di sekolah di Padang datanglah tokoh-tokoh seperti Nazir Sutan Pamuncak dan Abdul Muis yang membicarakan tentang Jong Sumatranen Bond jadi anak-anak muda harus mengenal masyarakatnya sendiri gitu. Di sini Bung Hatta kemudian ada satu hal yang dia pikir itu upacara… upacara atau suatu kebiasaan adat tapi ternyata itu tanam paksa jadi baru tahu rupanya rakyat itu disuruh menanam sayur-sayur dan kopi ya seperti itu. Tapi tidak boleh menikmati sendiri harus diserahkan kepada Belanda jadi SMP sudah terbuka itu lalu Bung Hatta juga ketemu tokoh-tokoh yang seumur maupun yang lebih tua jadi dan ketika kebetulan ya, ketika sekolah di Batavia di Jakarta beliau itu sendiri, Ayah saya itu sendiri tapi Kemudian pada tahun 1918 Bung Hatta itu terekspos pada suatu situasi yang mengesalkan kepada rakyat, waktu itu terutama di Batavia mereka ngomongin ini Gubernur Jenderal Limburg Stirum itu dulu pernah berjanji mempersiapkan Indonesia Merdeka jadi pemupukan fasilitas seperti itu tapi setelah ditanya di foxset beliau mengingkar, mengingkari janji itu. Mereka mengambil keputusan kita harus Merdeka tidak usah minta tolong Belanda lagi seperti yang dipikirkan tetapi ayo kita mulai gitu. Perhimpunan Hindia Belanda itu kemudian juga tokoh-tokohnya mempengaruhi anak-anak muda, Ayah saya waktu itu kan umurnya baru 19 tahun kemudian ia di negeri Belanda waktu itu, lalu kalau kita Merdeka namanya apa ya negara kita tentu tidak bisa Hindia
Belanda lalu mereka mencari di perpustakaan nama apalagi yang pernah muncul ,nah itu ada tiga cholar ilmuwan yang dua Inggris yang satu Jerman, yang Jerman itu Bastian tapi sebelumnya itu sama elegan tiga-tiganya menggunakan nama Indonesia. Nah itulah nanti yang menjadi negara maka perhimpunan yang disebut Indische Vereeniging itu menjadi Indonesische Vereeniging tahun 1922 dan baru 2 minggu kemarin itu saya juga diundang karena Kedutaan Besar kita di negeri Belanda membuat peringatan 100 tahun Perhimpunan Indonesia jadi saya bersyukur sekali saya diundang. Iya ini dia jadi, nah jadi Bung Hatta itu terobsesi bahwa kita harus Merdeka dan sebagai anak muda kan dia juga suka pergi konferensi-konferensi yang dihadiri oleh anak-anak muda Asia dan Afrika yang kuliah di Eropa dan mereka datang semua. Negara-negara mereka waktu masih terjajah India jadi bertemu dengan ayah saya begitu ya dan akhirnya mereka memupuk kita harus Merdeka masing-masing dan Bung Hatta mengatakan kemerdekaan itu harus diperjuangkan oleh kita sendiri dan sifatnya non kooperasi tidak boleh minta-minta kepada Belanda semuanya harus dikerjakan sendiri. jadi tadi menjawab pertanyaan “Kenapa Bung Hatta pikirannya ke situ?” karena pengalaman itu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Dan Ibu menjelaskannya secara sangat gampang dan sangat-sangat sesuai kenyataan karena Ibu saya kira juga pernah tentu berbincang-bincang dengan Ayahanda Ibu mengenai hal itu kalau saya boleh tahu Bu, karena Ibu kan Putri Sulungnya nah secara manusia, bukan sebagai negarawan tapi sebagai manusia Bung Hatta itu bagaimana sifatnya?” – Jaya Suprana.
“Beliau itu orangnya tidak banyak bicara tapi banyak berpikir, tapi ramah ya tidak pernah marah kecuali harus marah. Karena ada yang dablek tapi marahnya juga secara berwibawa tuh kalau Ayah saya marah itu berwibawa gitu ya.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Jadi ada prinsipnya beliau orangnya sabar.” – Jaya Suprana.
“Ya sabar tetapi kalau punya prinsip dan merasa benar tidak mau kalah.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Pantang menyerah. Oke kembali lagi Bu kepada uraian Ibu tentang filsafat kenegaraan Bung Hatta” – Jaya Suprana.
“Ya jadi filsafat kenegaraan Bung Hatta itu adalah azasnya kebangsaan dan kerakyatan itu dua sisi, kedua yang bersatu itu apa bersatu satu sama lain ya, jadi nah ketika itu mengenai filsafat kenegaraan Bung Hatta ini adalah sebetulnya tegaknya akses kebangsaan ya justru Bung Hatta waktu itu memikirkan itu sedang marak-maraknya di Eropa, itu dikumandangkan semangat internasional yang setelah Perang Dunia I itu ya. Di mana itu dinamai sebagai pusat pergaulan internasional, nah disitu dalam menegakkan asas kebersamaan itu kembali lagi kita lihat di negara kita saat itu kan Bung Karno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) itu juga suatu partai kebangsaan tetapi ketika Bung Karno ditangkap partai itu dibubarkan dan Bung Hatta kembali ke Indonesia, Sutan Syahrir lebih dulu ke Indonesia dan apa, Bung Hatta itu mengatur, membimbing ya jadinya dari luar negeri beliau sudah
memikirkan Sutan Syahrir harus membantu Bung Karno untuk mendirikan TNI itu nah ketika Bung Karno ditangkap Bung Hatta datang dan mereka dengan Bung Syahrir mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia supaya inisialnya itu sama dengan PNI, jadi ini untuk mengenang tapi sekaligus
meneruskan badan terutama partai kader karena di dalam Pendidikan Nasional Indonesia itu mendidik anggota supaya melek terhadap situasi yang ada dan juga melek terhadap kondisi-kondisi supaya kalau nanti kita Merdeka, Indonesia Merdeka kemudian ada yang mau jadi Menteri ada yang mau jadi barangkali Ketua Partai ada yang mau jadi apa, mereka tahu bahwa system ekonomi itu seperti ini, sistem hukum itu, seperti ini jadi mereka diajari itu supaya melek ya. Jadi tidak masuk partai asal aja terus ngomong sembarangan tetapi sudah ada dasarnya jadi di dalam partai
yang mendidik itu orang diajar. Bagaimana kalau mengelola negara jadi dasar-dasarnya itu diberikan
di dalam aktivitas partai, cuma diam-diam karenakan dipantau oleh aparat keamanan Pemerintah Kolonial ya, jadi kadang-kadang pintunya ditutup tapi satu kamar terbuka nah di situ diajarkan jadi dari atasnya rumahnya gelap gitu malam hari padahal ada orang-orang yang diajari gitu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Gerilya Pendidikan.” – Jaya Suprana.
“Bung Hatta akhirnya ketangkap dan dibawa ke Boven Digoel bersama Sutan Syahrir kemudian dipindah ke Banda Naira jadi karena perjuangan itu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Kalau boleh saya terus terang kurang-kurang mengenal Sutan Syahrir dan itu bagaimana? kok bisa dengan Bung Hatta, kok bisa seperti dua sejoli begitu?” – Jaya Suprana.
“Saya kira mereka itu walaupun sifatnya beda-beda tapi mereka sama pikirannya dan sama juga orangnya tapi saya kira etnis tidak terlalu menjadi sebab mereka bersatu tapi mereka punya pikiran yang sama dan Sutan Syahrir lebih mudah jadi bung Hatta seperti kakak gitu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Sutan Syahrir itu juga dari Minang?” – Jaya Suprana.
“Kan ketemunya di negeri Belanda, jadi ini tadi saya juga mau mengatakan ,jadi bung Hatta mengatakan tulisannya Itu namanya ke arah Indonesia Merdeka. Ada satu buku kecil tapi sangat
penting itu ditulis 1931 ayat 32 nah Bung Hatta mengatakan begini “Selama Indonesia Merdeka menjadi tujuan kita yang utama, maka selama itu pergerakannya bersifat kebangsaan” karena Bung Hatta mengatakan “Tidak ada pergerakan kemerdekaan yang terlepas dari semangat kebangsaan apa yang mau dimerdekakan? dari genggaman penjajah bangsa asing, kalau tidak bangsa dan tanah airnya sendiri” nah gitu jadi mengatakan “Memang persatuan hati dan persaudaraan segala manusia itu adalah bagus dan baik tetapi kalau tidak Merdeka itu yang lebih dulu adalah kemerdekaan bangsa jadi harus diutamakan”. Jadi disitu Bung Hatta mengatakan ya “Indonesia itu nama politisnya ya tahun 1922 di situ Indonesia menjadi Peristiwa Pertama menunjukkan penggunaan nama Indonesia untuk tujuan politik ini mencapai kemerdekaan Indonesia” dan satu lagi non kooperatif dan kooperatif itu merupakan kebijakan menyandarkan diri kepada kekuatan sendiri kebijakan Berdikari kalau istilahnya.” – Prof. Dr.. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Ini kan sebetulnya paradoks dengan koperasi yang beliau diberikan itu kan esensi dari koperasi kan adalah kooperatif tapi melawan penjajah kita nggak boleh kooperatif.” – Jaya Suprana.
“Kalau melawan penjajah tidak boleh tapi kalau koperasi diterapkan dalam ekonomi bahwa ekonomi itu dikerjakan oleh secara bersama-sama untuk menolong diri sendiri secara bersama-sama dan itu, dengan itu menjadi besar dan semuanya dirembuk bersama saling menolong, saling asah, asih dan asuh. Begitu ya ada prinsip-prinsip Koperasi kalau nanti ada waktunya saya bisa tambahkan jadi Bung Hatta itu, saya tertarik pada apa kata-katanya ya, katanya ini “hanya bangsa-bangsa dan manusia yang sama derajat dan sama Merdeka dapat bersaudara kalau tuan dan Budak itu susah berpendapat
seperti persaudaraan nggak bisa gitu tapi harus Merdeka hatinya sama-sama gitu ya” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Maka Beliau juga pernah bilang “jangan menjadi kuli”.” – Jaya Suprana.
“Ya betul, jadi ini di atas kebangsaan kan apa keberanian? “kalau takut sama penjajah tapi suatu
waktu ada keberanian untuk membela negaranya sendiri berani menantang maut dan sebagainya dan juga bagaimanapun juga bodoh dan penakutnya orang tapi pada suatu saat yang penting ia udah berkorban untuk membela tanah airnya” Nah apa Bung Hatta mengatakan gitu. Jadi saya melihat di sini apa yang non kooperatif tadi ya jadi pentingnya membangun, memerdeka Indonesia harus dengan tujuan kita sendiri jangan minta tolong, jangan tergantung pada Belanda tidak akan terjadi.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Hubungan Bung Hatta dengan Multatuli?” – Jaya Suprana.
“Beliau lebih senior ya, jadi itu juga dalam kaitan perjuangan tetapi Bung Hatta punya prinsipnya sendiri.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Jadi tidak ada kerjasama dengan multatuli? tidak ada?”. – Jaya Suprana.
“Tidak, karena usianya lanjut ya bung hatta. tapi anaknya Douwes Dekker kan? anaknya itu mengatakan tidak setuju kalau nama Indonesia dipakai, tapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya nama Indonesia harus dipakai ya.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Alasan anaknya Douwes Dekker itu keberatan namanya Indonesia dipakai itu apa?” – Jaya Suprana.
“Ya dia lebih suka menggunakan nama lensa, saya lupa apa ya mungkin karena dia juga Indo kan orang Indo, tapi Bung Hatta nasionalis banget dan orang Indonesia.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Pokoknya tidak ada kompromi.” – Jaya Suprana.
“Jadi Bung Hatta mengatakan “Hanya satu bangsa yang paham akan harga dirinya, maka cakrawalanya akan terang benderang” perhimpunan Indonesia mendidik bangsa itu membuatnya kukuh ya, kuat dan kukuh jadi maka itu prinsip non kooperatif ini yang paling penting untuk bung hatta, juga Bung Hatta memperkenalkan dan mengumandangkan nama Indonesia itu sampai juga menjadi amplifier Kata Profesor Sartono kartodirdjo untuk deklarasi Sumpah Pemuda di Tanah Air itu juga karena anak-anak muda di Indonesia mendengarkan yang diperhimpunan Indonesia dan Indonesia. Itu salah satu yang penting dan yang kedua tadi asas kerakyatan tadi kan kebangsaan dan kerakyatan nah Bung Hatta mengatakan “azas kerakyatan itu mengandung arti bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat segala hukum atau peraturan Negeri haruslah bersandar pada perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup dihati rakyat banyak dan aturan penghidupan haruslah sempurna dan berbahagia bagi rakyat” maksudnya membahagiakan rakyat itu jadi rakyat harus berbahagia di sinilah supaya masyarakat itu berdasarkan keadilan dan kebenaran haruslah rakyat Insaf akan haknya dan harga dirinya dan ini yang harus diajarkan kepada rakyat. Jadi cara menyusun ekonomi pemerintah itu harus mufakat yang musyawarah, mufakat itu semua diajarkan jadi tanggung jawab pemerintah itu, ini belum merdeka waktu itu ya tapi tanggung jawab pemerintah ada dalam untuk menyadarkan rakyat nah itu jadi ini falsafah Bung Hatta itu prinsipnya. Apa yang dilakukan? apa tahtanya? pemimpin itu punya apa ya tahta gitu ya, bukan Raja tapi maksudnya tugas memimpin negara itu ditujukan untuk rakyat itu dia.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Sebetulnya beliau sangat demokratis.” – Jaya Suprana.
“katanya juga disebut sebagai bapak kedaulatan rakyat oleh banyak orang waktu 100 tahun peringatan ulang tahun Bung Hatta juga ada satu buku diterbitkan. Mulai dari Pak Subadyo, Pak Sartono Kartodirdjo, Ahmad Syafi’i Ma’arif, banyak yang sekarang sudah wafat ya tapi mereka mengatakan sama yaitu Bung Hatta adalah Bapak Kedaulatan Rakyat dan ini saya… yaitu Pak jadi itu apanya yang saat tadi dari filsafat kenegaraan itu kebangsaan dan kerakyatan kemudian filsafat yang lain ekonomi, ekonomi kerakyatan.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Kalau gak salah filsafat ekonomi kerakyatan Bung Hatta dilanjutkan oleh Prof. Mubyarto di UGM ya?” – Jaya Suprana.
“Ya, tapi beliau ini yaa…cepat pergi ya.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Tapi sekarang dilanjutkan oleh menantu beliau yaitu Prof. Sri Edi Swasono.” – Jaya Suprana.
“Memang sekarang tantangannya berat ya Pak artinya karena di tengah jalan kan waktu itu cita-citanya ekonomi kerakyatan dan itu sudah ada di Undang-Undang Dasar 1945 tetapi kemudian ada masuk satu periode di mana kapitalisme masuk nah jadi ini mengacaukan karena tidak sama, karena saya waktu itu mendengar ceritanya aduh tertarik sekali ya tapi nanti sebentar saya ceritakan, tapi begitu ada kapitalisme masuk kok makin yang ditanamkan kok kapitalisme gitu ekonomi rakyatnya susah, Bung Hatta selalu mengatakan “Jangan memutar ujung menjadi pangkal” jadi kalau kita mempunyai produk ekonomi dalam negeri jangan langsung diekspor tetapi buatlah jadi, bukan bahan mentah yang utama untuk membangun tapi bahan mentah itu harus dikerjakan dulu di Indonesia di dalam negeri sehingga nanti ada orang-orang yang expert terlatih menjadi buruh menjadi expert dalam membuat bahan-bahan mentah itu menjadi produk yang berharga tapi juga bahannya dari negara kita sendiri dan tanah tumbuh di tanah rakyat gitu, jadi kan ada banyak yang kita tahu dulu itu ada karet rakyat, tebu rakyat itu memang dari tanah rakyat lalu ekonomi nasional menggunakan itu masuk dalam system kemudian juga sebagian rakyat lagi bekerja di pabrik-pabrik dan mereka daya belinya meningkat karena punya uang dan akhirnya kemajuan dari ekonomi dalam negeri itu adalah dari rakyat untuk rakyat oleh rakyat.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Sebetulnya dari itu juga terjadi di minyak bumi, minyak bumi kita kan dalam bentuk mentahkan malah di export kemudian diolah di luar negeri kemudian dijual kembali ke Indonesia. wah ini Bung Hatta kalau masih hidup marah itu.” – Jaya Suprana.
“Pernah sempat tahu dan marah, sempat tahu juga tapi kalau lihat sekarang kita tambangnya kan makin banyak ya yang ketemu-ketemu berikutnya. ternyata tidak ada lagi PLECI misalnya itu energi dari minyak gas dan macam-macam. Nah itu apa seharusnya kita yang mengola, karena kapitalisme masuk yang lemah disingkirkan.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Oke Ibu saya kira ekonomi kerakyatan Bung Hatta memang itu adalah ekonomi Indonesia sebetulnya tapi ibu memang benar bahwa setelah itu, setelah kapitalisme masuk ke sini kekuatan-kekuatan tertentu itu melupakan bahkan menyingkirkan rakyat ya sehingga rakyat bukannya di bahagiakan seperti harapan Bung Hatta tapi rakyat disengsarakan itu memang banyak terjadi ibu, itu terutama masyarakat adat dan rakyat miskin. Itu mereka sudah menyuarakan amanat penderitaan mereka beliau-beliau. nah memang sayang sekali Bung Hatta sudah tiada itu bentuknya sayang sekali karena kalau beliau masih ada saya yakin beliau akan marah tentu dengan marah yang berwibawanya beliau itu. Silahkan Ibu lanjut apa yang ingin Ibu utarakan dala tentang filsafat kerakyatan Bung Hatta silakan. – Jaya Suprana.
“Jadi itu tadi bahwa Bung Hatta selalu mengatakan Tuhan di negeri sendiri artinya Master in our on home country, bukan host, kalau kita jadi host kita kadang-kadang arisan atau pesta biar tamunya senang uang kita sedikit jadi itu bukan begitu, tapi kita yang mengatur kalian disini boleh apa… Master in our on home country gitu, tergantung kenapa harus, tergantung pada asing itu kerjasama dengan baik mengikuti kita juga gitu bukan mengatur kita.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Kalau itu kita setuju tanpa syarat cuma memang nggak semua setuju Bu karena kepentingan, saya kira ada juga sesama warga kita yang memperoleh keuntungan dengan bekerja sama dengan berkolaborasi atau berkomplot lah dengan asing itu ada yang diuntungkan sebenarnya.” – Jaya Suprana.
“Seharusnya yang diuntungkan itu negara dan negara.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Bukan pribadi.” – Jaya Suprana.
“Bukan.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Maka itu setiap saya teringat Bung Hatta itu terus terang bulu roma saya itu berdiri Bu, agak merinding gitu ya, karena kok ada manusia seperti Bung Hatta, apalagi almarhumah Ibu Rahmi berkisar bagaimana beliau menabung untuk beli mesin jahit kemudian akhirnya nggak berhasil karena uangnya dipotong tetapi beliau tidak dikasih tahu oleh Bung Hatta, waktu Bu Rahmi marah sama Bung Hatta, Bung Hatta bilang “Loh kamu kan istri saya tapi saya harus membela bukan istri saya, yang saya bela negeri saya, Wah itu saya betul-betul.” – Jaya Suprana.
“Jadi memang membedakan antara kedinasan dan kekeluargaan karena perjuangan itu membutuhkan korban kan? ya tapi ayah saya, ibu saya juga ikut berkorban nggak papa gitu asal masih tertanggung kan, gapapalah mesin jahit gapapa gitu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Apalagi ya kalau Ibu kan orangnya juga sabar sekali kan saya kira….” – Jaya Suprana.
“Suka ngomel juga, tapi sabar. Ngomel tapi nurut gitu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Ya saya memang, ya memang bagaimana ya kalau dengan segala hormat kepada Bung Karno saya itu terus terang merasa lebih bagaimana ya… lebih dekat dengan Bung Hatta karena cara berpikir beliau yang menurut saya sangat-sangat alami, sangat natural, sangat tidak dibuat-buat dan beliau tidak terpengaruh oleh isme-isme tetapi kecintaannya kepada Indonesia itu ya memang cinta ya sudah mau apa lagi dan nggak perlu definisi nggak perlu apapun beliau itu kan.” – Jaya Suprana.
“Karena beliau memahami rakyat karena cinta pada rakyat dari kecilkan suka sudah lihat dia tuh orang kota tapi pergi ke desa-desa gitu, lahirnya di kota tapi diajar karena kakeknya itu punya angkutan pos yang kalau sekarang JNE, Tiki tapi dulu masih pakai kereta kuda jadi suka pergi dari kota ke kota naik kereta, naik itu lihat-lihat desa gitu jadi hatinya ke rakyat padahal dia orang kota.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Beliau dilahirkannya dimana bu?” – Jaya Suprana.
“Kenapa pak?” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Lahirnya di Bukittinggi ya?” – Jaya Suprana.
“Bukittinggi iya.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Kotanya ya?” – Jaya Suprana.
“Iya, cucunya orang kaya, saudagar. Jadi tapi Bung Hatta bisa memahami orang yang miskin gitu itu hebatnya jadi karena beliau cinta sama rakyat Indonesia gitu makanya ingin Indonesia cepat merdeka karena waktu pergi ke negeri Belanda lihat orang, anak-anak muda Belanda lulus SMA terus dapat pekerjaan, ada juga yang pergi ke Hindia Belanda kan Tanah Air kita tapi kok orang-orang Indonesia sendiri yang orang Hindia Belanda kok tidak boleh sekolah gitu, makanya dia pengen harus bisa seperti rakyat yang merdeka gitu jadi itu obsesinya Bung Hatta.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Beliau waktu di negeri Belanda itu sekolahnya di mana Bu?” – Jaya Suprana.
“Di Rotterdam, Rotterdam Handels Hogeschool.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Tempatnya Pak Koe Ki Anggi juga sekolah ya?” – Jaya Suprana.
“Iya, dia senior” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Makanya Pak Koe itu kalau dengan Bung Hatta itu… udah beliau pokoknya, sudah pokonya kamu belajar dari Bung Hatta kecintaannya dengan indonesia itu gak ada tanpa syarat itu.” – Jaya Suprana.
“Jadi Ayah saya itu, Bung Hatta memahami belajar tentang kapitalisme, belajar tentang komunisme tapi karena dia tahu tentang kehidupan masyarakat Indonesia dia melihat ini dua-duanya tidak cocok maka itu ekonomi rakyat itu filsafatnya begitu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Hebat, hebat.” – Jaya Suprana.
“Musti ada kebangsaan dan ada kerakyatan, rakyat yang berdaulat di dalam Tanah Air yang dimerdekakan itu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Jadi beliau itu ternyata anak saudagar?” – Jaya Suprana.
“Iyaa, kaya sekali dulu itu zaman itu ya, kalau sekarang orang lebih kaya jauh.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Tapi waktu itu sudah dianggap orang yang kaya, udah kaya lah jadi beliau tidak pernah mengalami penderitaan ekonomi?” – Jaya Suprana.
“Tapi rela menderita dipembuangan di Digoel dan Banda Neira.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Iya setelah itu bukan main dan saya baru tahu bagaimana beliau waktu di Boven Digoel itu eh waktu di Banda Neira beliau bikin kapal yang di cat nya merah putih biru.” – Jaya Suprana.
“Merah putih, terus bilang “Kenapa merah putih?” “Karena lautnya sudah biru nggak usah lagi bikin cat biru.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Iya makanya birunya sudah di laut, jadi orangnya sebetulnya humoris juga ya.” – Jaya Suprana.
“Tapi anggun, gak seperti lelucon gitu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Bukan lelucon, tetapi humor dalam arti yang mulia, karena cara berpikir beliau itu buat saya sangat humoristis dalam arti bermain dengan logika. Apalagi Bu Meutia yang anda bisa kisahkan tetang Bung Hatta dengan filsafat kerakyatan beliau?” – Jaya Suprana.
“Jadi itu ekonomi kerakyatan tadi sudah disebut bahwa produk rakyat dari tanah rakyat, di produk rakyat dimasukkan dalam sistem ekonomi nasional daerah maupun nasional gitu ya jadi rakyat itu punya, punya penghasilan daya belinya meningkat dan kita jadi sejahtera gitu dan juga Bung Hatta… oh satu lagi Pak yang menariknya jadi waktu itu Ir. Laoh diangkat menjadi Menteri PU tahun 48 kira-kira Kabinet itu, waktu itu dan Bung Hatta memanggil Ir. Laoh “Kamu tahu apa tugasmu?” “tidak Bung”, dipanggilnya Bung dulu ya “Kamu harus merangkai Indonesia” merangkai Indonesia itu bikin Dermaga dimana-mana, bikin Pelabuhan, Airport, ya memang dulu belum ada cukup uang tapi idenya sudah ada.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Gila itu, itu kemaritiman yang modern sekali Bu.” – Jaya Suprana.
“Maritim maupun pesawat nanti atau kalau di daerah-daerah, jalan-jalan atau sungai-sungai itu ada Dermaga sungai jadi masuk ke pelosok-pelosok nanti rakyat sendiri yang akan membuat daerah itu menjadi ada rumahnya, ada warungnya, ada apa jadi berkembang sendiri. Jadi artinya tidak ada yang terpencil, tidak terlalu terpencil gitu ya terpencil pasti ada karena negara kita ini begini luas ya dan ekonomi kan juga waktu itu masih tahun 40-an ke atas itu 49 – 50 masih sederhana kan, tapi Bung Hatta sudah memikirkan “Kamu harus merangkai Indonesia” sehingga dengan merangkai Indonesia itu tidak ada gap yang sangat tinggi antara yang kaya dan yang miskin dan ada yang terpencil dan yang terbuka gitu, sekotak-kota besar seperti Jakarta dan lain-lain itu jadi supaya rakyat Indonesia ini adil gitu. Makanya Bung Hatta juga kesel kalau korupsi itu menyebabkan dana maupun aset-aset yang harusnya ke daerah terpencil tidak terjadi karena korupsi, itu tidak adil kepada rakyat sekarang di mana-mana ada korupsi ya susah juga.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Waduh kalau sekarang maaf Bu, ini menjadi demokratisasi korupsi sekarang ini Bu.” – Jaya Suprana.
“Terutama Bung Hatta yang sudah bilang korupsi menjadi kebudayaan, terus orang kese eh sekarang lebih-lebih lagi kan.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Jadi sebetulnya pada waktu Bung Hatta masih hadir diantara kita semua, itu korupsi sebetulnya kan belum merajalela kan Bu?” – Jaya Suprana.
“Sudah ada tetapi tidak seperti sekarang terus Ketika saya jadi Menteri saja Pak SBY itu pernah bilang “Itu kasihan Ibu-ibu yang suaminya korupsi lalu dia harus tampil, saya juga merasakan begitu yang sama istri-istrinya harus pergi ke tempat dimana suaminya ditangkap di foto itu tapi sekarang suami istri sama-sama korupsi kan?” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Malah kadang-kadang yang korupsi istrinya, suaminya malah nggak tahu.” – Jaya Suprana.
“Tapi saya kira ini adalah karena kita mengabaikan prinsip-prinsip luhur dan apa kebaikan yang baik dari leluhur maupun dari agama ya, semua agama pasti mengajarkan kebaikan. Nah ini harus dikembalikan tapi susah sekali tapi harus gitu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Tapi saya kira juga ada pengaruhnya mengenai pengkhianatan terhadap rakyat itu Bu, karena orang-orang yang korupsi itu pasti mereka itu tidak memikirkan kepentingan rakyat, yang dipikrikan kan kepentingan pribadi dia. Kalau dengan, kalau kita memahami pemikiran Bung Hatta dengan sendirinya
kita pasti tidak akan tega hati melakukan itu semua karena itu korupsi itu penghianatan kerakyatan yang paling parah itu sebetulnya.” – Jaya Suprana.
“Ya betul dan disamping itu merendahkan dirinya sendiri, lupa, martabatnya sendiri dan keluarganya tapi dicuekin ya.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Belakangan ini Bu dan saya juga jadi curhat kepada Ibu, begini belakangan ini ada sebagian dari teman-teman KPK kita yang waktu itu disingkirkan dari KPK itu, mereka itu sangat-sangat menderita dalam arti bukannya menderita secara ekonomi terhadap tapi menderita dalam arti mereka berjuang untuk melawan korupsi tetapi malah disingkirkan, karena kebetulan yang melakukan korupsi itu sedang memegang kekuasaan. Nah ini Bu kalau Bung Hatta masih hidup, saya pasti akan mengajak teman-teman ini untuk menghadap Bung Hatta untuk supaya, pasti Bung Hatta akan marah yang berwibawa itu tadi ya dan begini Bu terus terang pada saat Bung Hatta meninggal / wafat itu tidak kurang dari seorang Ruslan Abdul Gani yang memberitahu itu bilang ke saya “Waduh Pak Jaya celaka ini” “Loh kenapa celaka?” “Ini Pak Harto itu paling hormat dan paling takut kepada Bung Hatta, nah sekarang kalau ini Bung Hatta nya gak ada, Pak Harto gak ada yang ditakuti lagi” itu betul, itu omongannya Ruslan Abdul Gani itu.” – Jaya Suprana.
“Beliau mengatakan hati nurani bangsa Indonesia sudah enggak ada, iya kan? di koran waktu itu begitu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Ya itu di koran, tapi pribadi kesaya, dia itu ngakunya tidak ada yang ditakuti lagi.” – Jaya Suprana.
“Jadi saya tadi, apa Bapak bilang mau mengajak orang-orang yang kecewa itu ke Bung Hatta kalau masih hidup? saya inget hati nurani bangsa Indonesia itu, ya tidak ada yang ditakuti lagi ya, tidak ada yang disegani lagi.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Tidak ada, tidak ada yang dihormati lagi. Iya jadi kita betul-betul kehilangan ya, saya itu sangat belum sempat berjumpa beliau. Kalau saya sempat pasti dengan bantuan Ibu memperkenalkan saya, bagi beliau sayapun tidak ada artinya. Tapi sebetulnya saya ingin banyak belajar dari beliau, bukan ilmunya Bu tapi pengalamannya beliau itu loh, kalau ilmu kan saya bisa baca buku tapi kalau pengalaman kan nggak bisa Bu. Itukan harus orang yang ngalami sendiri.” – Jaya Suprana.
“Pengalaman itu dicerna dan dilihat apakah Indonesia cocok dengan suatu hal prinsip tertentu seperti komunisme, kapitalisme. Tapi kita harus punya sendiri, yaitu ekonomi rakyat, ya itu sudah dasarnya kita sudah punya kebersamaan ya. Milik rakyat yang di… karena kasih sayang pada rakyat tanahnya, produknya diberdayakan masuk dalam sistem ekonomi nasional. Mestinya kan begitu tapi tidak gitu, malah kalau bisa digusur kehilangan tananhnya.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Nah itu dia, kalau dengar perkataan digusur itu saya sedih sekali, saya nggak pernah digusur Bu, tapi saya pernah menyaksikan sendiri seorang Ibu, kalau itu orang emak-emak ya begitu, waktu digusur itu di Bukit Duri waktu itu, dia itu diusir dari gubuknya bukan rumah Bu, gubuk. Gubuknya kemudian dia bilang (yang gusur) “Ayo bawa semua harta bendamu” saya nunggu di situ saya pikir Bu harta bendanya mungkin banyak begitu kan, ternyata dia cuma dibawain gerobak, isinya gerobak itu Bu cuma satu kompor minyak tanah yang udah tua gitu kemudian beberapa dua piring dan sendok garpu dan anak perempuannya yang baru berusia 4 tahun berada di gerobak itu, nah kemudian saya tanya “Loh yang lain mana?” Ibu itu bilang “Iya ini, harta saya ya ini” nah rasanya gimana bu?” – Jaya Suprana.
“Ya itu sifat-sifat yang tegaan seperti itu terlalu kasar ya, kejam boleh dibilang. Itu terjadi kita baca di media dimana nonton di media jadi saya kira harus ada lebih banyak orang saling mengingatkan lah gitu, kita nih mau, negara kita mau jadi negara seperti apa makanya Bung Hatta mengatakan pendidikan karakter bangsa itu penting ya, jadi orang pintar banyak tetapi yang karakternya baik itu harus dipupuk dari diri sendiri dan itu sulit memang tapi harus dilakukan. Kalau bisa menang dari Dirinya Sendiri itu baru baik.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Jadi menaklukkan diri sendiri Bu ya, dalam Islam kan itu Jihad Al Nafs itu. itu saya sangat mengagumi faslafah Jihad Al Nafs itu. Menaklukkan diri sendiri.” – Jaya Suprana.
“Ya mendalami dari saya tapi saya juga paham ini, ya artinya juga kita membutuhkan sekarang ini orang yang menunjukkan bahwa dia tidak korupsi, dia menjadi star, menjadi bintang di negara ini kalau dia bisa menunjukkan dia tidak korupsi, karena banyak sekali sih korupsi di mana-mana tapi tokoh-tokoh ini bukan tokoh yang kaya, yang cantik, yang baik hati tapi jangan korupsi.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Begini Bu teman-teman KPK itu kan merencanakan akan membedah buku yang mereka tulis. Nanti Ibu saya undang nggeh ya.” – Jaya Suprana.
“Terimakasih.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Loh kami yang terimakasih, supaya mereka mendengar pesan dari Bung Hatta melalui Putri Sulungnya ini dan tentu dari Prof. Meutia sendiri dan Prof. Sri Edi Swasono. Saya tidak pernah lupa bagaimana pada waktu itu, waktu kita sedang berusaha membantu para ojek-ojek itu Prof. Edi itu dengan penuh semangat memberikan semangat, mengenai membentuk koperasi kepada anak-anak gojek ini untuk mereka bertahan melawan modal besar. itu Prof. Edi melakukannya dengan Con Amore padahal Profesor itu kalau dibayar berapa itu, maksudnya sebagai Konsultan Koperasi.” – Jaya Suprana.
“Dan memang kebersamaan itu penting rasa kebersamaan saling memiliki tidak menghianati satu sama lain gitu, Setia.” –Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Oke Bu ini waktu yang membatasi kita, Nah apa yang belum saya tanyakan, yang pasti masih banyak. Nah tapi menurut Ibu sangat perlu kita ketahui segera kita lebih bisa memahami filsafat kerakyatan warisan Bung Hatta silahkan.” – Jaya Suprana.
“Saya berharap begini bahwa rakyat itu diberdayakan dan jangan digusur artinya dan dibimbing terus dan juga misalnya saya pengalaman saya penelitian belum lama ini pemimpin-pemimpin di wilayah desa atau kecamatan itu harus saling terintegrasi dengan rakyatnya susah senang ditanggung bersama dan tahu mau kemana, jadi rakyat tidak sendiri, tapi Pemimpin juga didukung oleh rakyatnya jadi karena punya tujuan yang sama untuk membangun desanya atau kecamatannya atau apa dan mereka sendiri jadi kalau bersama-sama ini akan bisa apa ya lebih cepat mensejahterakan. Karena harus, hatinya harus bersatu harus bersama dan legowo gitu untuk….” –Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Saya kira pesan Ibu bukan hanya tertuju kepada Kepala Desa atau Kepala Kecamatan tapi juga Bupati, Walikota, Gubernur bahkan Presiden dan Wakil Presiden itu harus bersatu dengan rakyat.” – Jaya Suprana.
“Dicontohkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta.” –Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Ada pertanyaan saya terakhir kenapa kalau Bung Karno bisa? Bung Hatta bisa? Kenapa kok kita sekarang sulit bisa, itu kenapa itu? kan kita sama bangsa Indonesia.” – Jaya Suprana.
“Ya karena belum selesai dengan dirinya sendiri, itu.” –Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Belum selesai dengan dirinya sendiri.” – Jaya Suprana.
“Belum bisa menahan masih menyukai apa yang duniawi yang…” –Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Yang apa yang dia butuhkan dia inginkan.” – Jaya Suprana.
“Karena pemimpin itu harus berkorban dan Bung Hatta melakukan itu Bung Karno juga. Bung Hatta yang saya tahu sangat berkorban.” –Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Sampai Ibu Rahmi ikut harus berkorban dan saya kira anak-anaknya juga kan, anak anaknya ikut berkorban kan pasti.” – Jaya Suprana.
“Kita bisa kok.” –Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.
“Ya makanya, makanya itu lah Bu saya kira memang kita nggak salah dalam arti kita mencoba memohon Prof. Meutia Farida Hatta Swasono untuk memberi pelajaran kepada kita semua tentang filsafat kerakyatan Indonesia ini ya, kepada kita semua karena anda sendiri termasuk saudara-saudara anda ya Mba Gemala dan Mba Halida, beliaukan mengajar disekolah kami, nah itu di situ kita bisa belajar dari bukan teori tapi keteladanan sikap dan perilaku dan terbukti anda semua bisa jadi artinya kalau mau kan bisa lah kalau ndak bisa artinya nggak mau. Ya itu saja terima kasih Ibu Prof. Meutia Hatta Swasono, tapi nggak punya apa-apa. Tapi nanti akan apa, mengirim ini kepada anda sangat sederhana ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Mutia Faridah Hatta Swasono.