Bung Hatta dan 5 Nilai yang Perlu Diteladani

Sumber Foto: Kompas

Mohammad Hatta yang akrab kita kenal Bung Hatta merupakan salah satu tokoh sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Ir Soekarno dan tokoh intelektual lainnya, mereka berupaya mewujudkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hatta yang lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902, adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden yang telah dijabatnya sejak 1945, pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno.

Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi.

Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia.

Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971). Ia memperoleh gelar kehormatan akademis doctor honoris causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta pada tanggal 27 Nopember 1956.

Setelah meletakkan jabatan sebagai Wakil Presiden, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar doctor honoris causa dalam bidang ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar doctor honoris causa di bidang ilmu hukum.

Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal 18 November 1945 di Desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi’ah, dan Halida Nuriah.

Putri sulungnya, Meutia Hatta, adalah mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan di Kabinet Indonesia Bersatu. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek. Bung Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun, dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.

Mohammad Hatta selalu memberikan sumbangsih pemikirannya dalam banyak hal. Mulai dari dasar negara, konsep NKRI, proklamasi, hingga gagasan tentang ekonomi kerakyatan. Tak heran apabila negarawan asal Bukttinggi ini didapuk sebagai Wakil Presiden pertama Republik Indonesia.

Sebagai generasi penerus, sudah sepatutnya kita meneladani Bung Hatta. Berikut ini adalah lima nilai semangat Mohammad Hatta yang perlu kita tiru.

  1. Jiwa Solidaritas dan Kesetiakawanan

Solidaritas adalah simpati untuk kepentingan bersama yang dilandasi oleh rasa kesetiakawanan. Bung Hatta bahu membahu memperjuangkan kemerdekaan bersama seluruh lapisan masyarakat.

  1. Pro Patria dan Primus Patrialis

Artinya Bung Hatta selalu mencintai dan mendahulukan kepentingan Tanah Air. Beliau pernah diasingkan ke Boven Digul karena dianggap membangkan terhadap pemerintah kolonial. Meski demikian, Bung Hatta tidak gentar.

Bahkan, Bung Hatta berikrar tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Bung Hatta menepati janjinya. Beliau menikah pada 18 November 1945.

  1. Jiwa Toleransi atau Tenggang Rasa

Toleransi merupakan sikap tenggang rasa antarumat beragama, suku, golongan, dan bangsa. Ini tercermin dari sikap Bung Hatta yang menghargai kultur orang lain meskipun ia tidak ikut ambil bagian dalam kultur tersebut.

“Banyak kesaksian kawan-kawannya maupun penuturan ia sendiri dalam memoir-nya, betapa Hatta sangat asketik, tidak mau tergoda dengan beberapa kultur Barat yang dianggapnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Meskipun demikian, Hatta amat menghargai kultur orang lain itu meskipun ia sendiri tidak ikut ambil bagian atau larut di dalamnya,” tulis Zed dalam buku Cara Baik Bung Hatta.

  1. Jiwa Tanpa Pamrih dan Bertanggung Jawab

Hatta berjuang semata-mata agar negeri tercintanya lepas dari cengkeraman penjajah. Ia tidak memiliki maksud untuk menguntungkan diri sendiri.

Ia paham dan siap terhadap semua konsekuensi dari jalan politik yang ia tempuh. Saat itu, berani melawan kolonialisme artinya siap untuk hidup menderita.

  1. Jiwa Kesatria

Bung Hatta memiliki jiwa ksatria, yakni kebesaran hati yang tidak mengandung balas dendam. Seseorang yang berjiwa ksatria berani membela kebenaran dan melawan kejahatan. Pada saat yang sama, ia juga berbesar hati dan mengakui kelemahan.

Bapak Koperasi Indonesia

Dengan rasa peduli Hatta kepada rakyat dan ekonomi Indonesia, Hatta mendorong gerakan ekonomi kerakyatan melalui koperasi. Menurut Hatta, tujuan negara yaitu memakmurkan rakyat dengan berlandaskan atas asas kekeluargaan dan bentuk perekonomian yang paling cocok bagi Indonesia adalah ‘usaha bersama’ secara kekeluargaan.

Pada 12 Juli 1951, Hatta mengucapkan pidato radio dalam memperingati Hari Koperasi di Indonesia. Gagasannya mengenai koperasi terdapat dalam bukunya Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971). Atas kontribusi Hatta terhadap perekonomian Indonesia, Hatta diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada tahun 1953 saat kongres II di Bandung.

Dalam bukunya Hatta mengkategorikan social capital ke dalam 7 nilai semangat koperasi.

  • Kebenaran untuk menggerakan kepercayaan.
  • Keadilan dalam usaha bersama.
  • Kebaikan dan kejujuran mencapai perbaikan.
  • Tanggung jawab dalam individualitas dan solidaritas.
  • Paham yang sehat, cerdas, dan tegas.
  • Kemauan menolong diri sendiri dan menggerakan keswasembadaan serta otoaktiva.
  • Kesetiaan dalam kekeluargaan.

Dalam mengembangkan koperasi Indonesia, Hatta membuat 7 prinsip operasional secara internal dan eksternal: 1)Keanggotaan sukarela dan terbuka; 2) Pengendalian oleh anggota secara demokratis; 3) Partisipasi ekonomis anggota; Otonomi kebebasan; 4) Pendidikan; 5) Pelatihan dan informasi; serta Kerjasama antar operasi serta kepedulian terhadap komunitas. [kumparan/jurnal.id]

Source : kabardamai.id

https://kabardamai.id/bung-hatta-dan-5-nilai-yang-perlu-diteladani/

Menerapkan Pemikiran Bung Hatta Dalam Menuju Rakyat Indonesia Yang Bahagia

MENERAPKAN PEMIKIRAN BUNG HATTA DALAM MENUJU RAKYAT INDONESIA YANG BAHAGIA

Prof. Dr. Maizar Rahman (Ketua Yayasan Proklamator Bung Hatta)

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Bismillahirrahmaanirrahim, Wassalatu wassalamu ‘ala asrafil ambiyyai wa mursaliin, wa‘ala ali wassahbihi ajmaiin.

Yth, Bapak H. Amri Aziz, Ketua Umum DPP FAMM.

Yth, Bapak-Bapak Narasumber, Bapak Prof. Fasli Jalal, Bapak Guspardi Gaus, dan Bapak Prof. Musril Zahari.

Yth, Bapak-bapak Penanggap, Bapak Dr. Iramady Irdja, Bapak Norman Zainal, Bapak Dr. Umar Aris, dan Bapak Dr. Fikri Bareno.

Yth, Bapak dan Ibu Pengurus DPP FAMM

Yth, Bapak dan Ibu Panitia Mubes FAMM

Yth, Bapak dan Ibu peserta Mubes FAMM dan para hadirin sekalian yang kami hormati.

Pertama-tama ucapan terima kasih saya kepada Panitia atas undangan dalam pertemuan yang penting ini, dan juga kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT. atas rahmat dan hidayahnya sehingga kita dapat berkumpul dalam musyawarah besar Forum Alumni Mahasiswa Minangkabau ini.

Hadirin yang kami hormati.

Di awal sambutan ini, Panitia minta saya sedikit bercerita tentang pengalaman kerja saya. Selesai dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1974 dan ditugasi di Lemigas, disuruh mengambil S2 dan S3 di Perancis. Setelah itu langsung bertugas di penelitian selama 28 tahun termasuk memimpin lembaga penelitian teknologi migas LEMIGAS. Alhamdulillah, Lembaga ini banyak membantu kebijakan pemerintah di bidang migas maupun dukungan teknologi ke industri migas .

Penugasan selanjutnya adalah di bidang diplomasi internasional sebagai Akting Sekjen di OPEC, Gubernur OPEC dan kemudian di bidang korporasi sebagai preskom di Chandra Asri Petrochemical dan sebagai komisaris di Pertamina, semuanya juga sebagai penugasan Pemerintah. Pada usia saya di atas 70 tahun, aktivitas di bidang energi dan sosial tetap diminta walau sifatnya lebih konsultatif.

Semua karir itu berjalan begitu saja tanpa direncanakan dan tanpa dikejar karena sebagai PNS kita menganut prinsip ‘manut dan patuh’ pada penugasan. Tapi kunci-kuncinya agar terpilih memang harus menyiapkan diri agar memiliki kemampuan akademis yang baik, profesionalitas dalam menangani tugas, komunikatif, dan kerja keras. Dan itu berlaku dimana saja, baik di tataran nasional maupun internasional. Kata orang, karir atau kesempatan adalah kesiapan seseorang untuk menerima setiap peluang yang lewat .

Tapi tentu tidak diragukan bahwa bagi kita semua, doa orang tua sangat menentukan dalam jalan hidup kita. Semoga para orang tua kita, mereka mendapat tempat yang sebaik-baiknya di sisi Allah SWT. Amin ya rabbal ‘alamin.

Hadirin yang kami hormati,

Kemudian, pada tahun 2016 saya diminta sebagai Ketua Umum Yayasan Proklamator Bung Hatta. Yayasan ini bertujuan menggali dan melestarikan nilai-nilai kebangsaan yang telah diwariskan para tokoh perjuangan bangsa, mendidik, melatih dan mensosialisasikannya kepada generasi penerus bangsa, dengan harapan terbekalnya calon-calon pemimpin bangsa menjadi pribadi berkarakter luhur dan mulia dan mampu mengangkat bangsa Indonesia menjadi negara yang bermartabat, kuat , adil, sejahtera dan bahagia.

Bung Hatta adalah satu dari founding fathers yang selalu berada di tengah gejolak perjuangan bangsa sampai dengan kedaulatan bangsa dicapai, bahkan juga sampai dengan negara kesatuan yang diproklamasikan didapatkan kembali. Kita tidak hanya ingin mengenang kelahiran seorang besar, tetapi juga mencoba memahami kembali apa artinya berjuang mendirikan negara nasional, yang bersatu, demokratis, dan berkeadilan.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX almarhum, Sultan Yogya yang ikut berjuang sepenuhnya untuk kemerdekaan Indonesia, memberikan kesan-kesannya bahwa Bung Hatta adalah seorang pemimpin nasional yang berwatak dan berbudi luhur yang mengutamakan perjuangan kita dan keadaan rakyat. Kata Sri Sultan, bila semua orang berjiwa seperti Bung Hatta, tak ada kekuatan di dunia yang dapat mematahkan revolusi kemerdekaan kita. ….beliau tidak memikirkan diri sendiri namun pasrah kepada Tuhan.

Dalam kesan-kesan yang diberikan 55 tokoh di dalam buku peringatan Satu Abad Bung Hatta ditegaskan bahwa Bung Hatta adalah “ Bapak Kedaulatan Rakyat”.

Bung Hatta mengatakan rakyat itu jantung hati bangsa. Dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi rendah derajat kita, hidup atau matinya Indonesia Merdeka, semuanya tergantung kepada semangat rakyat. Penganjur-penganjur dan golongan kaum terpelajar baru akan berarti, kalau di belakangnya ada rakyat yang sadar dan insyaf akan kedaulatan dirinya. Karena itu Bung Hatta mengatakan bahwa “dalam pembangunan nasional yang kita bangun adalah manusianya. Pembangunan ekonomi dan pembangunan-pembangunan non ekonomi adalah derivat dari tugas membangun manusia (rakyat)”.

Bung Hatta dikenal sebagai sosok yang amat piawai dan berperan penting dalam mengawal persatuan bangsa di fase- fase memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang terancam oleh pemerintah kerajaan Belanda yang tidak rela Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Bung Hatta juga menghasilkan berbagai pemikiran dan arahan yang sangat berharga secara terus- menerus dalam penataan negara ini baik pada saat proklamasi kemerdekaan oleh beliau bersama Bung Karno maupun pada era pembangunan negara. Bung Hatta mengingatkan agar sesudah era revolusi selesai bangsa Indonesia harus cepat memasuki periode pembangunan agar pembangunan bisa merata ke seluruh negeri.

Para hadirin yang kami hormati,

Di negara kita ini, hampir setiap hari kita mendapat berita yang tidak membahagiakan. Kecelakaan di darat, laut dan udara, polusi sungai, kebakaran di mana-mana, banjir dan longsor, jembatan ambruk, pabrik tutup, keracunan minuman, narkoba yang merusak generasi penerus, penipuan dengan investasi bodong, travel umrah bodong, tenaga kerja TKI ditipu, vaksin

palsu, ijazah palsu, impor ilegal, begal motor, korupsi pejabat di segala lini, teror dan masih banyak lagi kalau didaftar semuanya.

Selain bencana alam yang merusak dan sebagian masih belum terkendali ada pula bencana kemiskinan dan kebodohan yang tak terselesaikan dalam waktu singkat. Korupsi juga merupakan bencana besar bagi banyak orang yang terdampak oleh perilaku manusia yang rakus dan tidak bermartabat itu yang melakukan korupsi apalagi kalau bersifat mewabah pula.

Sementara itu, kita menyaksikan di berbagai negara situasi yang jauh lebih membahagiakan dengan menerapkan kaidah- kaidah kehidupan yang baik. Misalnya di Jepang, sangat mengutamakan kejujuran, kesetiaan, ketulusan dan komitmen, serta diterapkannya prinsip visi zero, yaitu zero defect, zero late, zero fail, zero waste, zero loss, zero accident, zero hoax, zero narcotics, zero conflicts dan tentu saja zero corruption. Tas uang tertinggal di stasiun kereta api misalnya, dapat kembali ke pemiliknya.

Para hadirin yang kami hormati,

Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan”. Makna yang terkandung dalam ayat tersebut sangat dalam yakni sistem ekonomi yang dikembangkan seharusnya tidak berbasis persaingan serta berlandaskan individualistis, dan bahwa Koperasi adalah sokoguru perekonomian Bangsa.

Mengapa Koperasi kita kurang berkembang dan hanya berkontribusi sekitar 5 % (sumber lain bahkan melaporkan

hanya 1 %) dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Nasional ? Kepesertaan rakyat pada Koperasi juga rendah, yaitu hanya 8,4 %. Sedangkan angka global mencapai 16,3 %, di mana banyak perusahaan dan bank raksasa adalah koperasi. Kondisi koperasi kita ini kontradiktif dengan konstitusi kita tersebut.

Karena itu, dalam rangka mengembalikan Demokrasi Ekonomi menjadi arus utama dalam perekonomian Nasional sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi, peran seluruh partai politik sangatlah utama dalam membangun Demokrasi Ekonomi tersebut demi tegaknya keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.

Para hadirin yang kami hormati,

Dalam semua situasi yang dihadapi masyarakat di berbagai penjuru dunia, unsur manusia sangatlah berperan, terutama akhlak dan kemauan kuat untuk mengendalikan diri. Sering terlihat di media betapa kekacauan dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara terjadi karena manusia yang bertugas sebagai pejabat belum siap sebagai pemimpin dalam menjalankan tata krama dan akhlak dalam mengelola negara yang menjadi tanggung jawabnya.

Seorang pejabat harus memiliki jiwa kepemimpinan yang mengabdi kepada rakyat, takhta untuk rakyat, ia harus menjadi pemimpin yang menghormati rakyat sebelum rakyatnya menghormati dirinya. Ia harus merasa bahwa mereka yaitu rakyat yang dikelolanya mengandalkan dirinya untuk membawa mereka pada kesejahteraan hidup.

Para hadirin yang kami hormati,

Indonesia akan mengalami bonus demografi mulai tahun 2030 yang dapat membawa Indonesia menjadi negara terkuat No. 4 ekonomi di dunia. Namun sebaliknya Indonesia dapat menjadi negara gagal apabila tidak dapat dihasilkan generasi muda yang berkualitas, berkompetensi tinggi, berkarakter mulia dan luhur.

Kita ingat, berterima kasih dan hormat kepada Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Bung Natsir, dan banyak founding fathers lainnya yang bersama-sama dengan kompak telah memperjuangkan Indonesia dengan darah dan jiwa mereka menjadi negara berdaulat yang kita wariskan saat ini. Semangat juang, karakter, pribadi luhur yang ditunjukkan oleh mereka adalah nilai-nilai yang diperlukan dimiliki oleh generasi sekarang maupun generasi penerus demi terus tegaknya negara dan bangsa ini. Bung Hatta berpesan bahwa tanggung jawab generasi sekarang adalah kepada generasi yang telah mempusakakan negara ini dan kepada generasi yang akan datang agar tanah air ini dipelihara dan diteruskan sebagai pusaka bangsa.

Para hadirin yang kami hormati,

Demikianlah yang dapat kami sampaikan dalam acara Mubes yang sangat penting in dengan harapan besar munculnya banyak Bung Karno muda, Bung Hatta muda dan pemimpin- pemimpin harapan bangsa, generasi yang memiliki semangat, karakter mulia dan cita-cita seperti para founding fathers kita tersebut demi tercapainya apa yang dicita-citakan mereka, baik itu demokrasi politik, demokrasi kerakyatan dan demokrasi ekonomi dan berbagai arahan lainnya demi menjadi nyatanya negara kita ini menjadi negara yang bermartabat, berdaulat, sejahtera dan bahagia yang

semuanya secara jelas sudah tertuang dalam undang-undang dasar 1945.

Wabillahittaufik wal hidayah, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Final MUBES FAMM Sambutan PEMIKIRAN-PEMIKIRAN BUNG HATTA.

Sutan Sjahrir: Masa Muda, Kiprah, Penculikan, dan Akhir Hidup

Maria Duchateau saat tiba di Bandara Schipol, Belanda (kiri) dan Sutan Sjahrir (kanan).
Maria Duchateau saat tiba di Bandara Schipol, Belanda (kiri) dan Sutan Sjahrir (kanan).(geheugenvannederland.nl/Wikipedia)

Sutan Sjahrir adalah seorang pemimpin dan perdana menteri kemerdekaan revolusioner Indonesia. Ia digambarkan sebagai seorang intelektual Indonesia yang idealis. Sutan Sjahrir menjadi perdana menteri Indonesia pertama pada 1945, setelah berkarier sebagai penyelenggara utama nasionalis Indonesia tahun 1930-an dan 1940-an. Dari situ, Sjahrir mulai bekerja keras sebagai Perdana Menteri untuk memastikan Indonesia memenuhi namanya.  Ia dianggap sebagai seorang intelektual karena Sjahrir lebih mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan politiknya. Sjahrir mengutamakan negaranya di atas kebutuhannya sendiri.

Awal Hidup

Sutan Sjahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada 5 Maret 1909.  Sjahrir merupakan putra dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah.  Sang ayah menjabat sebagai penasehat Sultan Deli dan kepala jaksa (landraad) di Medan.  Pada awal 1926, Sutan Sjahrir menyelesaikan pendidikannya di MULO ( Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau Sekolah Menengah Pertama pada zaman kolonial Belanda.  Setelah itu, ia ke sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung. AMS menjadi sekolah termahal pada waktu itu di Hindia Belanda.  Di AMS, Sjahrir bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan aktor.  Setiap hasil pementasan digunakan Sjahrir untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volksuniversiteit atau Cahaya Universitas Rakyat.  Di kalangan sekolah AMS, Sjahrir menjadi seorang bintang.  Ia menjadi murid yang aktif dalam klub debat di sekolahnya.  Sjahrir juga terjun dalam aksi pendidikan melek huruf secara gratis untuk anak-anak dari keluarga yang tidak mampu dalam Tjahja Volksuniversiteit.  Pada 20 Februari 1927, Sjahrir masuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesië.  Perhimpunan ini kemudian berubah nama menjadi Pemuda Indonesia. Pemuda Indonesia menyelenggarakan Kongres Pemuda Indonesia, kongres monumental yang mencetus Sumpah Pemuda 1928.

Pengasingan 

Pada 1929, Sjahrir sampai di Belanda untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Amsterdam. Kemudian, ia menjadi mahasiswa hukum di Universitas Leiden. Sutan Sjahrir sempat menjadi sekretaris Perhimpunan Indonesia, sebuah organisasi pelajar Indonesia di Belanda.  Sjahrir juga menjadi salah satu pendiri Jong Indonesia, sebuah perkumpulan pemuda Indonesia untuk membantu perkembangan pemuda Indonesia untuk generasi berikutnya. Selama aktivitas politiknya sebagai mahasiswa di Belanda, Sjahrir menjadi lebih dekat dengan aktivis kemerdekaan, Mohammad Hatta. Pada 1931, Sjahrir kembali ke Indonesia. Sekembalinya Sjahrir ke Indonesia, ia bergabung ke dalam organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI Baru) pada Juni 1932 yang kemudian diketuainya.  Pada 1932, Mohammad Hatta yang juga telah kembali ke Indonesia, turut memimpin PNI Baru.  Bersama dengan Hatta, Sjahrir mengemudikan PNI Baru sebagai organisasi pencetak para kader pergerakan.  Karena merasa takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934, pemerintah Belanda menangkap dan mengasingkan Sjahrir beserta Hatta. Mereka menghabiskan masa pembuangan selama enam tahun di Banda Neira, Kepulauan Banda.

Proklamasi Indonesia

Pada masa pendudukan Jepang, Sjahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis (gerakan radikal ideologi nasional).  Sjahrir meyakini bahwa Jepang tidak akan memenangkan perang.  Oleh karena itu, kaum pergerakan harus mempersiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di waktu yang tepat.  Saat itu, Sutan Sjahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia secara sembunyi-sembunyi dengan mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri.  Berita ini kemudian disampaikan Sjahrir kepada Moh. Hatta.  Sjahrir yang didukung dengan para pemuda lain mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 15 Agustus, karena Jepang sudah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.  Soekarno dan Hatta yang belum mendengar berita menyerahnya Jepang pun tidak melakukan apa-apa.  Mereka menunggu keterangan dari pihak Jepang. Proklamasi juga harus dilakukan sesuai prosedur lewat keputusan Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), bentukan Jepang.  Rencana PPKI, kemerdekaan Indonesia akan diproklamasikan pada 24 September 1945.  Tindakan yang dilakukan oleh Soekarno dan Hatta ini membuat para pemuda merasa kecewa.  Sebab itu, agar Soekarno dan Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang, Sjahrir bersama para pemuda lain menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus 1945. Mereka diasingkan ke Rengasdengklok. Setelah didesak oleh para pemuda, Soekarno dan Hatta pun setuju untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, yaitu pada 17 Agustus 1945.  Baca juga: Tan Malaka: Masa Muda, Perjuangan, Peran, dan Akhir Hidupnya.

Penculikan Soekarno dan Hatta

Pada 26 Juni 1946, setelah Sjahrir menjadi Perdana Menteri Indonesia, ia diculik oleh oposisi Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas diplomasi yang dilakukan Kabinet Sjahrir II.  Peristiwa ini terjadi di Surakarta. Diplomasi Sutan Sjahrir dianggap sangat merugikan perjuangan bangsa Indonesia pada saat itu.  Kelompok ini ingin mendapat pengakuan kedaulatan penuh yang dicetuskan oleh Tan Malaka.  Sedangkan Kabinet Sjahrir II hanya menuntut pengakuan atas Jawa dan Madura.  Perdana Menteri Sjahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras. Ia diculik oleh kelompok Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soedarsono dan 14 pimpinan sipil.  Salah satu di antara mereka adalah Tan Malaka.  Presiden Soekarno yang mendengar kabar penculikan ini merasa sangat marah.  Ia memerintahkan Polisi Surakarta untuk menangkap para pimpinan tersebut.  Pada 1 Juli 1946, ke-14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan.  Sehari kemudian, 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 dipimpin Mayor Jenderal Soedarsono menyerang Wirogunan dan membebaskan ke-14 pimpinan yang ditahan.  Pada 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjata dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta.

Diplomasi

Setelah tragedi penculikan, Sjahrir hanya bertugas menjadi Menteri Luar Negeri.  Tugas Perdana Menteri pun diambil alih Presiden Soekarno.  Namun, pada 2 Oktober 1946, Soekarno kembali menunjuk Sjahrir untuk menjadi Perdana Menteri agar dapat melanjutkan Perundingan Linggarjati.  Perundingan ini kemudian berhasil ditandatangani pada 15 November 1946.  Agar Republik Indonesia tidak runtuh, Sjahrir menjalankan siasatnya.  Sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi pencetus perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer.  Kabinet Parlementer bertanggung jawab kepada KNIP sebagai lembaga yang punya fungsi legislatif.  RI sendiri juga menganut sistem multipartai.  Kepada massa rakyat, Sutan Sjahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti kekerasan.  Dengan siasat-siasat tersebut, Sjahrir berusaha menunjukkan ke dunia intenrasional bahwa revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan demokratis. Belanda kerap melakukan propaganda bahwa orang-orang di Indonesia merupakan gerombolan yang brutal, suka membunuh, merampok, dan lainnya.  Untuk mematahkan propaganda tersebut, Sjahrir menginisiasi penyelenggaraan pameran kesenian yang kemudian diliput dan dipublikasikan oleh para wartawan luar negeri.

Akhir Hidup

Tahun 1955, Partai Sosialis Indonesia gagal mendapat suara banyak dalam pemilihan umum pertama di Indonesia.  Tahun 1962 sampai 1965, Sjahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai mengalami stroke.  Sutan Sjahrir ditangkap karena partai yang ia dirikan, Partai Sosialis Indonesia diduga telah terlibat dalam pemberontakan PRRI.  Setelah itu, Sjahrir diizinkan untuk berobat ke Zürich Swiss. Sjahrir meninggal di Swiss pada 9 April 1956.  Di tanggal yang sama, melalui Keppres Nomor 76 Tahun 1966, Sutan Sjahrir dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. 

Sumber :

https://www.kompas.com/stori/read/2021/06/22/080000479/sutan-sjahrir–masa-muda-kiprah-penculikan-dan-akhir-hidup?page=all#page2

Penulis Verelladevanka Adryamarthanino | Editor Nibras Nada Nailufar

Kompas.com – 22/06/2021, 08:00 WIB

Filsafat Kerakyatan Bung Hatta

Jaya Suprana Show- Prof.Dr. Meutia Hatta Swasono- Filsafat Kerakyatan Bung Hatta

“Diantara sekian banyak negarawan dunia, jadi bukan hanya indonesia tetapi dunia. Yang paling saya kagumi dan paling saya hormati adalah Bung Hatta karena saya memang belum pernah, belum sempat berbincang-bincang langsung dengan beliau tetapi dari kejauhan saya senantiasa mengagumi Bung Hatta. Terutama mengenai filsafat kerakyatan Bung Hatta yang Saya kira tidak ada duanya di planet bumi ini, saya kira yang paling berhak untuk bicara tentang filsafat kerakyatan Bung Hatta adalah Putri Sulung beliau yaitu Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono, maka Ibu Prof. Meutia saya berterima kasih sekali atas berkenan anda untuk berkisah tentang filsafat kerakyatan Bung Hatta dalam kesempatan ini dan selanjutnya waktu dan tempat saya serahkan sepenuhnya kepada Prof. Dr.

Meutia Farida Hatta Swasono silahkan.” – Jaya Suprana.

“Terima kasih Pak, saya bersyukur bisa mempunyai kesempatan di sini dan Bapak minta saya untuk bicara soal filsafat Bung Hatta yang dilihat sebagai filsafat kerakyatan Bung Hatta kan dan dalam gaib ini saya melihatnya juga sebagai filsafat kenegaraan karena Bung Hatta itu seorang negarawan dari kecil, bukan dari kecil dari muda mahasiswa mempersiapkan diri untuk berpikir Indonesia Merdeka jadi dia memupuk diri sebagai negarawan.” – Prof. Dr. Meutia  Farida Hatta Swasono.

“Mohon maaf kalau boleh saya nimbung, kok bisa beliau itu sejak muda itu punya yang menurut saya itu obsesi beliau adalah untuk Indonesia Merdeka, padahal waktu itu kan Indonesia belum ada. Indonesia aja kan belum ada, adanya Hindia Belanda ya kok bisa Bung Hatta sejak muda itu punya cita-cita Indonesia Merdeka? silahkan.” – Jaya Suprana.

“Ya terima kasih mungkin Ini pengalaman hidupnya dari kecil, ketika masih kecil umur 6 tahun itu ada Perang Kamang di Sumatera Barat dan di Bukittinggi tempat beliau waktu itu masih anak-anak tinggal. Bung Hatta itu punya kebiasaan kalau makan malam, makan siang, makan malam bersama-sama keluarganya jadi percakapan orang dewasa ini mulai dari kakek , nenek,  ibu kemudian juga om-omnya ke paman-pamannya itu. Mengenai Perang Kamang ini juga menceritakan tentang Serdadu yang kasar kepada rakyat itu terpatride di hatinya, jadi Belanda jahat. Waktu sekolah di Padang ya, di sekolah di Padang datanglah tokoh-tokoh seperti Nazir Sutan Pamuncak dan Abdul Muis yang membicarakan tentang Jong Sumatranen Bond jadi anak-anak muda harus mengenal masyarakatnya sendiri gitu. Di sini Bung Hatta kemudian ada satu hal yang dia pikir itu upacara… upacara atau suatu kebiasaan adat tapi ternyata itu tanam paksa jadi baru tahu rupanya rakyat itu disuruh menanam sayur-sayur dan kopi ya seperti itu. Tapi tidak boleh menikmati sendiri harus diserahkan kepada Belanda jadi SMP sudah terbuka itu lalu Bung Hatta juga ketemu tokoh-tokoh yang seumur maupun yang lebih tua jadi dan ketika kebetulan ya, ketika sekolah di Batavia di Jakarta beliau itu sendiri, Ayah saya itu sendiri tapi Kemudian pada tahun 1918 Bung Hatta itu terekspos pada suatu situasi yang mengesalkan kepada rakyat, waktu itu terutama di Batavia mereka ngomongin ini Gubernur Jenderal Limburg Stirum itu dulu pernah berjanji mempersiapkan Indonesia Merdeka jadi pemupukan fasilitas seperti itu tapi setelah ditanya di foxset beliau mengingkar, mengingkari janji itu. Mereka mengambil keputusan kita harus Merdeka tidak usah minta tolong Belanda lagi seperti yang dipikirkan tetapi ayo kita mulai gitu. Perhimpunan Hindia Belanda itu kemudian juga tokoh-tokohnya mempengaruhi anak-anak muda, Ayah saya waktu itu kan umurnya baru 19 tahun kemudian ia di negeri Belanda waktu itu, lalu kalau kita Merdeka namanya apa ya negara kita tentu tidak bisa Hindia

Belanda lalu mereka mencari di perpustakaan nama apalagi yang pernah muncul ,nah itu ada tiga cholar ilmuwan yang dua Inggris yang satu Jerman, yang Jerman itu Bastian tapi sebelumnya itu sama elegan tiga-tiganya menggunakan nama Indonesia. Nah itulah nanti yang menjadi negara maka perhimpunan yang disebut Indische Vereeniging itu menjadi Indonesische Vereeniging tahun 1922 dan baru 2 minggu kemarin itu saya juga diundang karena Kedutaan Besar kita di negeri Belanda membuat peringatan 100 tahun Perhimpunan Indonesia jadi saya bersyukur sekali saya diundang. Iya ini dia jadi, nah jadi Bung Hatta itu terobsesi bahwa kita harus Merdeka dan sebagai anak muda kan dia juga suka pergi konferensi-konferensi yang dihadiri oleh anak-anak muda Asia dan Afrika yang kuliah di Eropa dan mereka datang semua. Negara-negara mereka waktu masih terjajah India jadi bertemu dengan ayah saya begitu ya dan akhirnya mereka memupuk kita harus Merdeka masing-masing dan Bung Hatta mengatakan kemerdekaan itu harus diperjuangkan oleh kita sendiri dan sifatnya non kooperasi tidak boleh minta-minta kepada Belanda semuanya harus dikerjakan sendiri. jadi tadi menjawab pertanyaan “Kenapa Bung Hatta pikirannya ke situ?” karena pengalaman itu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Dan Ibu menjelaskannya secara sangat gampang dan sangat-sangat sesuai kenyataan karena Ibu saya kira juga pernah tentu berbincang-bincang dengan Ayahanda Ibu mengenai hal itu kalau saya boleh tahu Bu, karena Ibu kan Putri Sulungnya nah secara manusia, bukan sebagai negarawan tapi sebagai manusia Bung Hatta itu bagaimana sifatnya?” – Jaya Suprana.

“Beliau itu orangnya tidak banyak bicara tapi banyak berpikir, tapi ramah ya tidak pernah marah kecuali harus marah. Karena ada yang dablek tapi marahnya juga secara berwibawa tuh kalau Ayah saya marah itu berwibawa gitu ya.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Jadi ada prinsipnya beliau orangnya sabar.” – Jaya Suprana.

“Ya sabar tetapi kalau punya prinsip dan merasa benar tidak mau kalah.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Pantang menyerah. Oke kembali lagi Bu kepada uraian Ibu tentang filsafat kenegaraan Bung Hatta” – Jaya Suprana.

“Ya jadi filsafat kenegaraan Bung Hatta itu adalah azasnya kebangsaan dan kerakyatan itu dua sisi, kedua yang bersatu itu apa bersatu satu sama lain ya, jadi nah ketika itu mengenai filsafat kenegaraan Bung Hatta ini adalah sebetulnya tegaknya akses kebangsaan ya justru Bung Hatta waktu itu memikirkan itu sedang marak-maraknya di Eropa, itu dikumandangkan semangat internasional yang setelah Perang Dunia I itu ya. Di mana itu dinamai sebagai pusat pergaulan internasional, nah disitu dalam menegakkan asas kebersamaan itu kembali lagi kita lihat di negara kita saat itu kan Bung Karno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) itu juga suatu partai kebangsaan tetapi ketika Bung Karno ditangkap partai itu dibubarkan dan Bung Hatta kembali ke Indonesia, Sutan Syahrir lebih dulu ke Indonesia dan apa, Bung Hatta itu mengatur, membimbing ya jadinya dari luar negeri beliau sudah

memikirkan Sutan Syahrir harus membantu Bung Karno untuk mendirikan TNI itu nah ketika Bung Karno ditangkap Bung Hatta datang dan mereka dengan Bung Syahrir mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia supaya inisialnya itu sama dengan PNI, jadi ini untuk mengenang tapi sekaligus

meneruskan badan terutama partai kader karena di dalam Pendidikan Nasional Indonesia itu mendidik anggota supaya melek terhadap situasi yang ada dan juga melek terhadap kondisi-kondisi supaya kalau nanti kita Merdeka, Indonesia Merdeka kemudian ada yang mau jadi Menteri ada yang mau jadi barangkali Ketua Partai ada yang mau jadi apa, mereka tahu bahwa system ekonomi itu seperti ini, sistem hukum itu, seperti ini jadi mereka diajari itu supaya melek ya. Jadi tidak masuk partai asal aja terus ngomong sembarangan tetapi sudah ada dasarnya jadi di dalam partai

yang mendidik itu orang diajar. Bagaimana kalau mengelola negara jadi dasar-dasarnya itu diberikan

di dalam aktivitas partai, cuma diam-diam karenakan dipantau oleh aparat keamanan Pemerintah Kolonial ya, jadi kadang-kadang pintunya ditutup tapi satu kamar terbuka nah di situ diajarkan jadi dari atasnya rumahnya gelap gitu malam hari padahal ada orang-orang yang diajari gitu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Gerilya Pendidikan.” – Jaya Suprana.

“Bung Hatta akhirnya ketangkap dan dibawa ke Boven Digoel bersama Sutan Syahrir kemudian dipindah ke Banda Naira jadi karena perjuangan itu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Kalau boleh saya terus terang kurang-kurang mengenal Sutan Syahrir dan itu bagaimana? kok bisa dengan Bung Hatta, kok bisa seperti dua sejoli begitu?” – Jaya Suprana.

“Saya kira mereka itu walaupun sifatnya beda-beda tapi mereka sama pikirannya dan sama juga orangnya tapi saya kira etnis tidak terlalu menjadi sebab mereka bersatu tapi mereka punya pikiran yang sama dan Sutan Syahrir lebih mudah jadi bung Hatta seperti kakak gitu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Sutan Syahrir itu juga dari Minang?” – Jaya Suprana.

“Kan ketemunya di negeri Belanda, jadi ini tadi saya juga mau mengatakan ,jadi bung Hatta mengatakan tulisannya Itu namanya ke arah Indonesia Merdeka. Ada satu buku kecil tapi sangat

penting itu ditulis 1931 ayat 32 nah Bung Hatta mengatakan begini “Selama Indonesia Merdeka menjadi tujuan kita yang utama, maka selama itu pergerakannya bersifat kebangsaan” karena Bung Hatta mengatakan “Tidak ada pergerakan kemerdekaan yang terlepas dari semangat kebangsaan apa yang mau dimerdekakan? dari genggaman penjajah bangsa asing, kalau tidak bangsa dan tanah airnya sendiri” nah gitu jadi mengatakan “Memang persatuan hati dan persaudaraan segala manusia itu adalah bagus dan baik tetapi kalau tidak Merdeka itu yang lebih dulu adalah kemerdekaan bangsa jadi harus diutamakan”. Jadi disitu Bung Hatta mengatakan ya “Indonesia itu nama politisnya ya tahun 1922 di situ Indonesia menjadi Peristiwa Pertama menunjukkan penggunaan nama Indonesia untuk tujuan politik ini mencapai kemerdekaan Indonesia” dan satu lagi non kooperatif dan kooperatif itu merupakan kebijakan menyandarkan diri kepada kekuatan sendiri kebijakan Berdikari kalau istilahnya.” – Prof. Dr.. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Ini kan sebetulnya paradoks dengan koperasi yang beliau diberikan itu kan esensi dari koperasi kan adalah kooperatif tapi melawan penjajah kita nggak boleh kooperatif.” – Jaya Suprana.

“Kalau melawan penjajah tidak boleh tapi kalau koperasi diterapkan dalam ekonomi bahwa ekonomi itu dikerjakan oleh secara bersama-sama untuk menolong diri sendiri secara bersama-sama dan itu, dengan itu menjadi besar dan semuanya dirembuk bersama saling menolong, saling asah, asih dan  asuh. Begitu ya ada prinsip-prinsip Koperasi kalau nanti ada waktunya saya bisa tambahkan jadi Bung Hatta itu, saya tertarik pada apa kata-katanya ya, katanya ini “hanya bangsa-bangsa dan manusia yang sama derajat dan sama Merdeka dapat bersaudara kalau tuan dan Budak itu susah berpendapat

seperti persaudaraan nggak bisa gitu tapi harus Merdeka hatinya sama-sama gitu ya” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Maka Beliau juga pernah bilang “jangan menjadi kuli”.” – Jaya Suprana.

“Ya betul, jadi ini di atas kebangsaan kan apa keberanian?  “kalau takut sama penjajah tapi suatu

waktu ada keberanian untuk membela negaranya sendiri berani menantang maut dan sebagainya dan juga bagaimanapun juga bodoh dan penakutnya orang tapi pada suatu saat yang penting ia udah berkorban untuk membela tanah airnya” Nah apa Bung Hatta mengatakan gitu. Jadi saya melihat di sini apa yang non kooperatif tadi ya jadi pentingnya membangun, memerdeka Indonesia harus dengan tujuan kita sendiri jangan minta tolong, jangan tergantung pada Belanda tidak akan terjadi.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Hubungan Bung Hatta dengan Multatuli?” – Jaya Suprana.

“Beliau lebih senior ya, jadi itu juga dalam kaitan perjuangan tetapi Bung Hatta punya prinsipnya sendiri.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Jadi tidak ada kerjasama dengan multatuli? tidak ada?”. Jaya Suprana.

“Tidak, karena usianya lanjut ya bung hatta. tapi anaknya Douwes Dekker kan? anaknya itu mengatakan tidak setuju kalau nama Indonesia dipakai, tapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya nama Indonesia harus dipakai ya.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Alasan anaknya Douwes  Dekker itu keberatan namanya Indonesia dipakai itu apa?” – Jaya Suprana.

“Ya dia lebih suka menggunakan nama lensa, saya lupa apa ya mungkin karena dia juga Indo kan orang Indo, tapi Bung Hatta nasionalis banget dan orang Indonesia.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Pokoknya tidak ada kompromi.” – Jaya Suprana.

“Jadi Bung Hatta mengatakan “Hanya satu bangsa yang paham akan harga dirinya, maka cakrawalanya akan terang benderang” perhimpunan Indonesia mendidik bangsa itu membuatnya kukuh ya, kuat dan kukuh jadi maka itu prinsip non kooperatif ini yang paling penting untuk bung hatta, juga Bung Hatta memperkenalkan dan mengumandangkan nama Indonesia itu sampai juga menjadi amplifier Kata Profesor Sartono kartodirdjo untuk deklarasi Sumpah Pemuda di Tanah Air itu juga karena anak-anak muda di Indonesia mendengarkan yang diperhimpunan Indonesia dan Indonesia. Itu salah satu yang penting dan yang kedua tadi asas kerakyatan tadi kan kebangsaan dan kerakyatan nah Bung Hatta mengatakan “azas kerakyatan itu mengandung arti bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat segala hukum atau peraturan Negeri haruslah bersandar pada perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup dihati rakyat banyak dan aturan penghidupan haruslah sempurna dan berbahagia bagi rakyat” maksudnya membahagiakan rakyat itu jadi rakyat harus berbahagia di sinilah supaya masyarakat itu berdasarkan keadilan dan kebenaran haruslah rakyat Insaf akan haknya dan harga dirinya dan ini yang harus diajarkan kepada rakyat. Jadi cara menyusun ekonomi pemerintah itu harus mufakat yang musyawarah, mufakat itu semua diajarkan jadi tanggung jawab pemerintah itu, ini belum merdeka waktu itu ya tapi tanggung jawab pemerintah ada dalam untuk menyadarkan rakyat nah itu jadi ini falsafah Bung Hatta itu prinsipnya. Apa yang dilakukan? apa tahtanya? pemimpin itu punya apa ya tahta gitu ya, bukan Raja tapi maksudnya tugas memimpin negara itu ditujukan untuk rakyat itu dia.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Sebetulnya beliau sangat demokratis.” – Jaya Suprana.

“katanya juga disebut sebagai bapak kedaulatan rakyat oleh banyak orang waktu 100 tahun peringatan ulang tahun Bung Hatta juga ada satu buku diterbitkan. Mulai dari Pak Subadyo, Pak Sartono Kartodirdjo, Ahmad Syafi’i Ma’arif, banyak yang sekarang sudah wafat ya tapi mereka mengatakan sama yaitu Bung Hatta adalah Bapak Kedaulatan Rakyat dan ini saya… yaitu Pak jadi itu apanya yang saat tadi dari filsafat kenegaraan itu kebangsaan dan kerakyatan kemudian filsafat yang lain ekonomi, ekonomi kerakyatan.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Kalau gak salah filsafat ekonomi kerakyatan Bung Hatta dilanjutkan oleh Prof. Mubyarto di UGM ya?” – Jaya Suprana.

“Ya, tapi beliau ini yaa…cepat pergi ya.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Tapi sekarang dilanjutkan oleh menantu beliau yaitu Prof. Sri Edi Swasono.” – Jaya Suprana.

“Memang sekarang tantangannya berat ya Pak artinya karena di tengah jalan kan waktu itu cita-citanya ekonomi kerakyatan dan itu sudah ada di Undang-Undang Dasar 1945 tetapi kemudian ada masuk satu periode di mana kapitalisme masuk nah jadi ini mengacaukan karena tidak sama, karena saya waktu itu mendengar ceritanya aduh tertarik sekali ya tapi nanti sebentar saya ceritakan, tapi begitu ada kapitalisme masuk kok makin yang ditanamkan kok kapitalisme gitu ekonomi rakyatnya susah, Bung Hatta selalu mengatakan “Jangan memutar ujung menjadi pangkal” jadi kalau kita mempunyai produk ekonomi dalam negeri jangan langsung diekspor tetapi buatlah jadi, bukan bahan mentah yang utama untuk membangun tapi bahan mentah itu harus dikerjakan dulu di Indonesia di dalam negeri sehingga nanti ada orang-orang yang expert terlatih menjadi buruh menjadi expert dalam membuat bahan-bahan mentah itu menjadi produk yang berharga tapi juga bahannya dari negara kita sendiri dan tanah tumbuh di tanah rakyat gitu, jadi kan ada banyak yang kita tahu dulu itu ada karet rakyat, tebu rakyat itu memang dari tanah rakyat lalu ekonomi nasional menggunakan itu masuk dalam system kemudian juga sebagian rakyat lagi bekerja di pabrik-pabrik dan mereka daya belinya meningkat karena punya uang dan akhirnya kemajuan dari ekonomi dalam negeri itu adalah dari rakyat untuk rakyat oleh rakyat.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Sebetulnya dari itu juga terjadi di minyak bumi, minyak bumi kita kan dalam bentuk mentahkan malah di export kemudian diolah di luar negeri kemudian dijual kembali ke Indonesia. wah ini Bung Hatta kalau masih hidup marah itu.” – Jaya Suprana.

“Pernah sempat tahu dan marah, sempat tahu juga tapi kalau lihat sekarang kita tambangnya kan makin banyak ya yang ketemu-ketemu berikutnya. ternyata tidak ada lagi PLECI misalnya itu energi dari minyak gas dan macam-macam. Nah itu apa seharusnya kita yang mengola, karena kapitalisme masuk yang lemah disingkirkan.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Oke Ibu saya kira ekonomi kerakyatan Bung Hatta memang itu adalah ekonomi Indonesia sebetulnya tapi ibu memang benar bahwa setelah itu, setelah kapitalisme masuk ke sini kekuatan-kekuatan tertentu itu melupakan bahkan menyingkirkan rakyat ya sehingga rakyat bukannya di bahagiakan seperti harapan Bung Hatta tapi rakyat disengsarakan itu memang banyak terjadi ibu, itu terutama masyarakat adat dan rakyat miskin. Itu mereka sudah menyuarakan amanat penderitaan mereka beliau-beliau. nah memang sayang sekali Bung Hatta sudah tiada itu bentuknya sayang sekali karena kalau beliau masih ada saya yakin beliau akan marah tentu dengan marah yang berwibawanya beliau itu. Silahkan Ibu lanjut apa yang ingin Ibu utarakan dala tentang filsafat kerakyatan Bung Hatta silakan. – Jaya Suprana.

“Jadi itu tadi bahwa Bung Hatta selalu mengatakan Tuhan di negeri sendiri artinya Master in our on home country, bukan host, kalau kita jadi host kita kadang-kadang arisan atau pesta biar tamunya senang uang kita sedikit jadi itu bukan begitu, tapi kita yang mengatur kalian disini boleh apa… Master in our on home country gitu, tergantung kenapa harus, tergantung pada asing itu kerjasama dengan baik mengikuti kita juga gitu bukan mengatur kita.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Kalau itu kita setuju tanpa syarat cuma memang nggak semua setuju Bu karena kepentingan, saya kira ada juga sesama warga kita yang memperoleh keuntungan dengan bekerja sama dengan berkolaborasi atau berkomplot lah dengan asing itu ada yang diuntungkan sebenarnya.” – Jaya Suprana.

“Seharusnya yang diuntungkan itu negara dan negara.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Bukan pribadi.” – Jaya Suprana.

“Bukan.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Maka itu setiap saya teringat Bung Hatta itu terus terang bulu roma saya itu berdiri Bu, agak  merinding gitu ya, karena kok ada manusia seperti Bung Hatta, apalagi almarhumah Ibu Rahmi berkisar bagaimana beliau menabung untuk beli mesin jahit kemudian akhirnya nggak berhasil karena uangnya dipotong tetapi beliau tidak dikasih tahu oleh Bung Hatta, waktu Bu Rahmi marah sama Bung Hatta, Bung Hatta bilang “Loh kamu kan istri saya tapi saya harus membela bukan istri saya, yang saya bela negeri saya, Wah itu saya betul-betul.” – Jaya Suprana.

“Jadi memang membedakan antara kedinasan dan kekeluargaan karena perjuangan itu membutuhkan korban kan? ya tapi ayah saya, ibu saya juga ikut berkorban nggak papa gitu asal masih tertanggung kan, gapapalah mesin jahit gapapa gitu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Apalagi ya kalau Ibu kan orangnya juga sabar sekali kan saya kira….” – Jaya Suprana.

“Suka ngomel juga, tapi sabar. Ngomel tapi nurut gitu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Ya saya memang, ya memang bagaimana ya kalau dengan segala hormat kepada Bung Karno saya itu terus terang merasa lebih bagaimana ya… lebih dekat dengan Bung Hatta karena cara berpikir beliau yang menurut saya sangat-sangat alami, sangat natural, sangat tidak dibuat-buat dan beliau tidak terpengaruh oleh isme-isme tetapi kecintaannya kepada Indonesia itu ya memang cinta ya sudah mau apa lagi dan nggak perlu definisi nggak perlu apapun beliau itu kan.” – Jaya Suprana.

“Karena beliau memahami rakyat karena cinta pada rakyat dari kecilkan suka sudah lihat dia tuh orang kota tapi pergi ke desa-desa gitu, lahirnya di kota tapi diajar karena kakeknya itu punya angkutan pos yang kalau sekarang JNE, Tiki tapi dulu masih pakai kereta kuda jadi suka pergi dari kota ke kota naik kereta, naik itu lihat-lihat desa gitu jadi hatinya ke rakyat padahal dia orang kota.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Beliau dilahirkannya dimana bu?” – Jaya Suprana.

“Kenapa pak?” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Lahirnya di Bukittinggi ya?” – Jaya Suprana.

“Bukittinggi iya.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Kotanya ya?” – Jaya Suprana.

“Iya, cucunya orang kaya, saudagar. Jadi tapi Bung Hatta bisa memahami orang yang miskin gitu itu hebatnya jadi karena beliau cinta sama rakyat Indonesia gitu makanya ingin Indonesia cepat merdeka karena waktu pergi ke negeri Belanda lihat orang, anak-anak muda Belanda lulus SMA terus dapat pekerjaan, ada juga yang pergi ke Hindia Belanda kan Tanah Air kita tapi kok orang-orang Indonesia sendiri yang orang Hindia Belanda kok tidak boleh sekolah gitu, makanya dia pengen harus bisa seperti rakyat yang merdeka gitu jadi itu obsesinya Bung Hatta.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Beliau waktu di negeri Belanda itu sekolahnya di mana Bu?” – Jaya Suprana.

“Di Rotterdam, Rotterdam Handels Hogeschool.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Tempatnya Pak Koe Ki Anggi juga sekolah ya?” – Jaya Suprana.

“Iya, dia senior” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Makanya Pak Koe itu kalau dengan Bung Hatta itu… udah beliau pokoknya, sudah pokonya kamu belajar dari Bung Hatta kecintaannya dengan indonesia itu gak ada tanpa syarat itu.” – Jaya Suprana.

“Jadi Ayah saya itu, Bung Hatta memahami belajar tentang kapitalisme, belajar tentang komunisme tapi karena dia tahu tentang kehidupan masyarakat Indonesia dia melihat ini dua-duanya tidak cocok maka itu ekonomi rakyat itu filsafatnya begitu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Hebat, hebat.” – Jaya Suprana.

“Musti ada kebangsaan dan ada kerakyatan, rakyat yang berdaulat di dalam Tanah Air yang dimerdekakan itu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Jadi beliau itu ternyata anak saudagar?” – Jaya Suprana.

“Iyaa, kaya sekali dulu itu zaman itu ya, kalau sekarang orang lebih kaya jauh.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Tapi waktu itu sudah dianggap orang yang kaya, udah kaya lah jadi beliau tidak pernah mengalami penderitaan ekonomi?” – Jaya Suprana.

“Tapi rela menderita dipembuangan di Digoel dan Banda Neira.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Iya setelah itu bukan main dan saya baru tahu bagaimana beliau waktu di Boven Digoel itu eh waktu di Banda Neira beliau bikin kapal yang di cat nya merah putih biru.” – Jaya Suprana.

“Merah putih, terus bilang “Kenapa merah putih?” “Karena lautnya sudah biru nggak usah lagi bikin cat biru.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Iya makanya birunya sudah di laut, jadi orangnya sebetulnya humoris juga ya.” – Jaya Suprana.

“Tapi anggun, gak seperti lelucon gitu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Bukan lelucon, tetapi humor dalam arti yang mulia, karena cara berpikir beliau itu buat saya sangat humoristis dalam arti bermain dengan logika. Apalagi Bu Meutia yang anda bisa kisahkan tetang Bung Hatta dengan filsafat kerakyatan beliau?” – Jaya Suprana.

“Jadi itu ekonomi kerakyatan tadi sudah disebut bahwa produk rakyat dari tanah rakyat, di produk rakyat dimasukkan dalam sistem ekonomi nasional daerah maupun nasional gitu ya jadi rakyat itu punya, punya penghasilan daya belinya meningkat dan kita jadi sejahtera gitu dan juga Bung Hatta… oh satu lagi Pak yang menariknya jadi waktu itu Ir. Laoh diangkat menjadi Menteri PU tahun 48 kira-kira Kabinet itu, waktu itu dan Bung Hatta memanggil Ir. Laoh “Kamu tahu apa tugasmu?” “tidak Bung”, dipanggilnya Bung dulu ya “Kamu harus merangkai Indonesia” merangkai Indonesia itu bikin Dermaga dimana-mana, bikin Pelabuhan, Airport, ya memang dulu belum ada cukup uang tapi idenya sudah ada.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Gila itu, itu kemaritiman yang modern sekali Bu.” – Jaya Suprana.

“Maritim maupun pesawat nanti atau kalau di daerah-daerah, jalan-jalan atau sungai-sungai itu ada Dermaga sungai jadi masuk ke pelosok-pelosok nanti rakyat sendiri yang akan membuat daerah itu menjadi ada rumahnya, ada warungnya, ada apa jadi berkembang sendiri. Jadi artinya tidak ada yang terpencil, tidak terlalu terpencil gitu ya terpencil pasti ada karena negara kita ini begini luas ya dan ekonomi kan juga waktu itu masih tahun 40-an ke atas itu 49 – 50 masih sederhana kan, tapi Bung Hatta sudah memikirkan “Kamu harus merangkai Indonesia” sehingga dengan merangkai Indonesia itu tidak ada gap yang sangat tinggi antara yang kaya dan yang miskin dan ada yang terpencil dan yang terbuka gitu, sekotak-kota besar seperti Jakarta dan lain-lain itu jadi supaya rakyat Indonesia ini adil gitu. Makanya Bung Hatta juga kesel kalau korupsi itu menyebabkan dana maupun aset-aset yang harusnya ke daerah terpencil tidak terjadi karena korupsi, itu tidak adil kepada rakyat sekarang di mana-mana ada korupsi ya susah juga.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Waduh kalau sekarang maaf Bu, ini menjadi demokratisasi korupsi sekarang ini Bu.” – Jaya Suprana.

“Terutama Bung Hatta yang sudah bilang korupsi menjadi kebudayaan,  terus orang kese eh sekarang lebih-lebih lagi kan.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Jadi sebetulnya pada waktu Bung Hatta masih hadir diantara kita semua, itu korupsi sebetulnya kan belum merajalela kan Bu?” – Jaya Suprana.

“Sudah ada tetapi tidak seperti sekarang terus Ketika saya jadi Menteri saja Pak SBY itu pernah bilang “Itu kasihan Ibu-ibu yang suaminya korupsi lalu dia harus tampil, saya juga merasakan begitu yang sama istri-istrinya harus pergi ke tempat dimana suaminya ditangkap di foto itu tapi sekarang suami istri sama-sama korupsi kan?” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Malah kadang-kadang yang korupsi istrinya, suaminya malah nggak tahu.” – Jaya Suprana.

“Tapi saya kira ini adalah karena kita mengabaikan prinsip-prinsip luhur dan apa kebaikan yang baik dari leluhur maupun dari agama ya, semua agama pasti mengajarkan kebaikan. Nah ini harus dikembalikan tapi susah sekali tapi harus gitu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Tapi saya kira juga ada pengaruhnya mengenai pengkhianatan terhadap rakyat itu Bu, karena orang-orang yang korupsi itu pasti mereka itu tidak memikirkan kepentingan rakyat, yang dipikrikan kan kepentingan pribadi dia. Kalau dengan, kalau kita memahami pemikiran Bung Hatta dengan sendirinya

kita pasti tidak akan tega hati melakukan itu semua karena itu korupsi itu penghianatan kerakyatan yang paling parah itu sebetulnya.” – Jaya Suprana.

“Ya betul dan disamping itu merendahkan dirinya sendiri, lupa, martabatnya sendiri dan keluarganya tapi dicuekin ya.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Belakangan ini Bu dan saya juga jadi curhat kepada Ibu, begini belakangan ini ada sebagian dari teman-teman KPK kita yang waktu itu disingkirkan dari KPK itu, mereka itu sangat-sangat menderita dalam arti bukannya menderita secara ekonomi terhadap tapi menderita dalam arti mereka berjuang untuk melawan korupsi tetapi malah disingkirkan, karena kebetulan yang melakukan korupsi itu sedang memegang kekuasaan. Nah ini Bu kalau Bung Hatta masih hidup, saya pasti akan mengajak teman-teman ini untuk menghadap Bung Hatta untuk supaya, pasti Bung Hatta akan marah yang berwibawa itu tadi ya dan begini Bu terus terang pada saat Bung Hatta meninggal / wafat itu tidak kurang dari seorang Ruslan Abdul Gani yang memberitahu itu bilang ke saya “Waduh Pak Jaya celaka ini” “Loh kenapa celaka?” “Ini Pak Harto itu paling hormat dan paling takut kepada Bung Hatta, nah sekarang kalau ini Bung Hatta nya gak ada, Pak Harto gak ada yang ditakuti lagi” itu betul, itu omongannya Ruslan Abdul Gani itu.” – Jaya Suprana.

“Beliau mengatakan hati nurani bangsa Indonesia sudah enggak ada, iya kan? di koran waktu itu begitu.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Ya itu di koran, tapi pribadi kesaya, dia itu ngakunya tidak ada yang ditakuti lagi.” – Jaya Suprana.

“Jadi saya tadi, apa Bapak bilang mau mengajak orang-orang yang kecewa itu ke Bung Hatta kalau masih hidup? saya inget hati nurani bangsa Indonesia itu, ya tidak ada yang ditakuti lagi ya, tidak ada yang disegani lagi.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Tidak ada, tidak ada yang dihormati lagi. Iya jadi kita betul-betul kehilangan ya, saya itu sangat belum sempat berjumpa beliau. Kalau saya sempat pasti dengan bantuan Ibu memperkenalkan saya, bagi beliau sayapun tidak ada artinya. Tapi sebetulnya saya ingin banyak belajar dari beliau, bukan ilmunya Bu tapi pengalamannya beliau itu loh, kalau ilmu kan saya bisa baca buku tapi kalau pengalaman kan nggak bisa Bu. Itukan harus orang yang ngalami sendiri.” – Jaya Suprana.

“Pengalaman itu dicerna dan dilihat apakah Indonesia cocok dengan suatu hal prinsip tertentu seperti komunisme, kapitalisme. Tapi kita harus punya sendiri, yaitu ekonomi rakyat, ya itu sudah dasarnya kita sudah punya kebersamaan ya. Milik rakyat yang di… karena kasih sayang pada rakyat tanahnya, produknya diberdayakan masuk dalam sistem ekonomi nasional. Mestinya kan begitu tapi tidak gitu, malah kalau bisa digusur kehilangan tananhnya.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Nah itu dia, kalau dengar perkataan digusur itu saya sedih sekali, saya nggak pernah digusur Bu, tapi saya pernah menyaksikan sendiri seorang Ibu, kalau itu orang emak-emak ya begitu, waktu digusur itu di Bukit Duri waktu itu, dia itu diusir dari gubuknya bukan rumah Bu, gubuk. Gubuknya kemudian dia bilang (yang gusur)  “Ayo bawa semua harta bendamu” saya nunggu di situ saya pikir Bu harta bendanya mungkin banyak begitu kan, ternyata dia cuma dibawain gerobak, isinya gerobak itu Bu cuma satu kompor minyak tanah yang udah tua gitu kemudian beberapa dua piring dan sendok garpu dan anak perempuannya yang baru berusia 4 tahun berada di gerobak itu, nah kemudian saya tanya “Loh yang lain mana?” Ibu itu bilang “Iya ini, harta saya ya ini” nah rasanya gimana bu?” – Jaya Suprana.

“Ya itu sifat-sifat yang tegaan seperti itu terlalu kasar ya, kejam boleh dibilang. Itu terjadi kita baca di media dimana nonton di media jadi saya kira harus ada lebih banyak orang saling mengingatkan lah gitu, kita nih mau, negara kita mau jadi negara seperti apa makanya Bung Hatta mengatakan pendidikan karakter bangsa itu penting ya, jadi orang pintar banyak tetapi yang karakternya baik itu harus dipupuk dari diri sendiri dan itu sulit memang tapi harus dilakukan. Kalau bisa menang dari Dirinya Sendiri itu baru baik.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Jadi menaklukkan diri sendiri Bu ya, dalam Islam kan itu Jihad Al Nafs itu. itu saya sangat mengagumi faslafah Jihad Al Nafs itu. Menaklukkan diri sendiri.” – Jaya Suprana.

“Ya mendalami dari saya tapi saya juga paham ini, ya artinya juga kita membutuhkan sekarang ini orang yang menunjukkan bahwa dia tidak korupsi, dia menjadi star, menjadi bintang di negara ini kalau dia bisa menunjukkan dia tidak korupsi, karena banyak sekali sih korupsi di mana-mana tapi tokoh-tokoh ini bukan tokoh yang kaya, yang cantik, yang baik hati tapi jangan korupsi.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Begini Bu teman-teman KPK itu kan merencanakan akan membedah buku yang mereka tulis. Nanti Ibu saya undang nggeh ya.” – Jaya Suprana.

“Terimakasih.” – Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Loh kami yang terimakasih, supaya mereka mendengar pesan dari Bung Hatta melalui Putri Sulungnya ini dan tentu dari Prof. Meutia sendiri dan Prof. Sri Edi Swasono. Saya tidak pernah lupa bagaimana pada waktu itu, waktu kita sedang berusaha membantu para ojek-ojek itu Prof. Edi itu dengan penuh semangat memberikan semangat, mengenai membentuk koperasi kepada anak-anak gojek ini untuk mereka bertahan melawan modal besar. itu Prof. Edi melakukannya dengan Con Amore padahal Profesor itu kalau dibayar berapa itu, maksudnya sebagai Konsultan Koperasi.” – Jaya Suprana.

“Dan memang kebersamaan itu penting rasa kebersamaan saling memiliki tidak menghianati satu sama lain gitu, Setia.” –Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Oke Bu ini waktu yang membatasi kita, Nah apa yang belum saya tanyakan, yang pasti masih banyak. Nah tapi menurut Ibu sangat perlu kita ketahui segera kita lebih bisa memahami filsafat kerakyatan warisan Bung Hatta silahkan.” – Jaya Suprana.

“Saya berharap begini bahwa rakyat itu diberdayakan dan jangan digusur artinya dan dibimbing terus dan juga misalnya saya pengalaman saya penelitian belum lama ini pemimpin-pemimpin di wilayah desa atau kecamatan itu harus saling terintegrasi dengan rakyatnya susah senang ditanggung bersama dan tahu mau kemana, jadi rakyat tidak sendiri, tapi Pemimpin juga didukung oleh rakyatnya jadi karena punya tujuan yang sama untuk membangun desanya atau kecamatannya atau apa dan mereka sendiri jadi kalau bersama-sama ini akan bisa apa ya lebih cepat mensejahterakan. Karena harus, hatinya harus bersatu harus bersama dan legowo gitu untuk….” –Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Saya kira pesan Ibu bukan hanya tertuju kepada Kepala Desa atau Kepala Kecamatan tapi juga Bupati, Walikota, Gubernur bahkan Presiden dan Wakil Presiden itu harus bersatu dengan rakyat.” – Jaya Suprana.

“Dicontohkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta.” –Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Ada pertanyaan saya terakhir kenapa kalau Bung Karno bisa? Bung Hatta bisa? Kenapa kok kita sekarang sulit bisa, itu kenapa itu? kan kita sama bangsa Indonesia.” – Jaya Suprana.

“Ya karena belum selesai dengan dirinya sendiri, itu.” –Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Belum selesai dengan dirinya sendiri.” – Jaya Suprana.

“Belum bisa menahan masih menyukai apa yang duniawi yang…” –Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Yang apa yang dia butuhkan dia inginkan.” – Jaya Suprana.

“Karena pemimpin itu harus berkorban dan Bung Hatta melakukan itu Bung Karno juga. Bung Hatta yang saya tahu sangat berkorban.” –Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Sampai Ibu Rahmi ikut harus berkorban dan saya kira anak-anaknya juga kan, anak anaknya ikut berkorban kan pasti.” – Jaya Suprana.

“Kita bisa kok.” –Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono.

“Ya makanya, makanya itu lah Bu saya kira memang kita nggak salah dalam arti kita mencoba memohon Prof. Meutia Farida Hatta Swasono untuk memberi pelajaran kepada kita semua tentang filsafat kerakyatan Indonesia ini ya, kepada kita semua karena anda sendiri termasuk saudara-saudara anda ya Mba Gemala dan Mba Halida, beliaukan mengajar disekolah kami, nah itu di situ kita bisa belajar dari bukan teori tapi keteladanan sikap dan perilaku dan terbukti anda semua bisa jadi artinya kalau mau kan bisa lah kalau ndak bisa artinya nggak mau. Ya itu saja terima kasih Ibu Prof. Meutia Hatta Swasono, tapi nggak punya apa-apa. Tapi nanti akan apa, mengirim ini kepada anda sangat sederhana ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Mutia Faridah Hatta Swasono.

Sumber : Jaya Suprana Show

PENDIRI BANGSA,BUNG HATTA LEBIH DARI SEKEDAR BAPAK KOPERASI INDONESIA – Kwik Kian Gie

https://www.youtube.com/watch?v=h-A5CsdqTnA

Bung Hatta : Untuk Kemerdekaan Indonesia, Kalau Perlu Darah Mengalir Dalam Keluarga Saya

Bung Hatta : Saya Lebih Suka Melihat Nusantara Tenggelam, Ambles Di Bawah Laut,dari pada harus Di Jajah

Kwik Kian Gie : Saya Menghormati dan Tidak Bisa Mengerti bahwa ada Manusia (Bung Hatta), Yang Begitu Hebatnya

Sumber : Syakaa Channel Tv

Peringatan 120 Tahun Bung Hatta

Memperingati 120 tahun sang proklamator Bung Hatta Yayasan Proklamator Bung Hatta menggelar kegiatan Webinar dengan Tema “Bung Hatta Pejuang Tangguh dan Pemikir yang Visioner” Napak Tilas, Ultra Run dan Launching Metaverse Hatta Memorial Heritage Virtual. Acara ini dibuka langsung oleh Putri Bung Hatta Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono pada Istana Bung Hatta Bukittingi.

Tiga agenda sekaligus digelar pada (13/8) yaitu : Napak Tilas Bung Hatta, Ultra Run atau lari maraton 120 km dan launching museum virtual dengan teknologi Metaverse.

Ketiga putri Bung Hatta yaitu Meutia, Gemala dan Halida hadir dalam rangkaian acara yang digelar di istana Bung Hatta Bukittinggi sejak pukul 07.00 pagi itu. Acara juga dihadiri oleh Rektor Universitas Bung Hatta Prof. Dr. Tafdil Husni, S.E., M.B.A., Bupati Agam Dr. H. Andri Warman, MM. dan Ketua Umum Yayasan Proklamator Bung Hatta Prof. Dr. Maizar Rahman serta perwakilan Pemprov Sumbar dan Pemkot Bukittinggi.

Dalam sambutannya Meutia Hatta menyampaikan bahwa yang paling penting dari peringatan ini adalah bagaimana agar keteladanan Bung Hatta itu bisa dipedomani oleh setiap pejabat khususnya di Sumatera Barat.

Selanjutnya Meutia Hatta juga mengungkap bahwa Bung Hatta bukanlah sosok yang tiba-tiba saja hadir dari langit untuk memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia, namun kehadiran beliau adalah sebuah perjalanan yang panjang.

Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia Bung Hatta melakukan perjalanan ke berbagai pelosok Negeri untuk meyakinkan rakyat dan membangun optimisme.

Sementara itu Bupati Agam, Andri Warman merasa sangat beruntung bahwa dalam agenda 120 tahun Bung Hatta ini, Bukittinggi dan Kabupaten Agam kedatangan 3 putri Bung Hatta dan Pesanggrahan Bung Hatta yang berlokasi di Kabupaten Agam menjadi tujuan utama agenda napak tilas Bung Hatta.

Andri Warman berharap pesanggrahan Bung Hatta dapat menjadi destinasi wisata baru karena disamping keindahan alamnya juga ada jejak Bung Hatta yang bisa menjadi situs sejarah.

Kemeriahan peringatan 120 tahun Bung Hatta sangat terasa di Kabupaten Agam dimana para tamu disuguhi “upacara tradisional” atau dalam bahasa Minangnya “Baralek Gadang” atau pesta besar di lapangan di depan SD 09 yang konon diresmikan oleh Bung Hatta pada tahun 1952.

Upacara ini disaksikan oleh para pemuka adat di kabupaten Agam dan diakhiri dengan makan bersama secara tradisional yang disebut dengan ‘makan bajambek’.

Bukittinggi, 13 Agustus 2022

Konsep Bung Hatta Memanfaatkan Hutan dan Lahan

Bung Hatta sudah punya konsep bagaimana memanfaatkan hutan dan lahan. Kuncinya keberpihakan kepada masyarakat lemah dan miskin.

Hariadi Kartodihardjo

SEKALI waktu kita mungkin perlu menoleh ke belakang: untuk tahu apa yang dahulu dipikirkan oleh tokoh pendiri Indonesia—dalam hal ini Bung Hatta (1902-1980)—tentang tanah hutan dan lahan. Apakah konsep dan cita-citanya kita jalankan pada saat ini. 

Dalam berbagai kesempatan, Bung Hatta mengemukakan pendapatnya soal pemanfaatan hutan dan lahan berikut ini:

Di koran Hindia Poetra Nomor 2 edisi Maret 1923, Bung Hatta menekankan perihal kurangnya perlindungan mengenai sewa tanah pertanian yang merugikan bangsa Indonesia, yaitu petani yang menyewakan lahannya kepada industri gula. 

Bung Hatta menulis: “Selama nilai sewa belum mencapai nilai tertinggi, cukup untuk membeli padi dengan jumlah yang sama, yaitu uang yang akan diterima oleh kaum petani sebagai pemberian bagi hasil pertanian, dan selama jalan masuk ke perbudakan bagi petani yang berada dalam posisi lemah secara hukum masih terbuka lebar, maka tidak akan ada perlindungan hukum yang nyata terhadap petani pemilik tanah yang lemah secara ekonomis. Jika hal-hal tersebut masih mungkin, kiranya Indonesia masih akan berada di bawah kekuasaan modal”.

Dalam kalimatnya yang lain, ia menulis “Bila seseorang berhati-hati dalam memandang keadaan Indonesia yang berubah cepat, tidak sukar untuk melihat bahaya besar bagi petani Indonesia”. 

Pada Kumpulan Karangan III (1954), Bung Hatta mengemukakan dasar pemikiran mengenai pemilikan dan penguasaan tanah. Sebagai negara agraria, pemilikan tanah diizinkan apabila tanah tersebut dikerjakan sendiri. Kepemilikan ini harus bisa dilindungi dari praktik memeras dan merampas para tukang riba, serta melarang praktik ijon. Seseorang tidak boleh punya lahan lebih dari lima hektare dan apabila tanah itu tidak dikerjakan sendiri, bagian yang mengerjakan tidak boleh kurang dari separuh hasil tanah itu. 

Mengenai hutan, Bung Hatta menulis artikel Hutan Menyimpan Kapital Nasional Kita pada 1950.  Dalam artikel ini, ia menjelaskan bagaimana perjuangan mempertahankan kemerdekaan 1945-1949, yang telah membakar bangunan-bangunan sendiri karena merasa lebih baik dibumi-hanguskan daripada dipergunakan oleh Belanda, serta bagaimana negara kekurangan kapital untuk kehidupan sosial-ekonomi setelah itu.

Setelah itu, Bung Hatta menulis “Betapa banyaknya hutan-hutan kita yang sebenarnya menyimpan kapital nasional. Hutan itu tidak boleh ditebang, ia harus dipelihara, karena itulah kapital nasional kita. Siapa yang hendak membuat ladang, haruslah bertanya dulu kepada dinas kehutanan, mana yang boleh ditanami menjadi ladang, mana yang tidak. Karena apabila kayu di gunung itu habis ditebang, air tidak bisa ditahan mengalir ke laut yang lambat laun akan menjadikan tanah-tanah kita menjadi tandus. Humus yang ada di kulit tanah habis dihanyutkan oleh air yang menyebabkan terjadinya gunung-gunung tandus. Inilah kapital nasional yang harus dijaga”.

Dengan sangat jelas fokus Bung Hatta pada keadilan dan kelestarian penggunaan tanah dan hutan. Pernyataannya ia tegaskan kembali pada saat briefing para pejabat dan tokoh masyarakat di Biak, Papua, pada 3 Juni 1970: “Sekarang bukan lagi berjuang untuk merdeka, tetapi berjuang untuk alam kita, untuk melaksanakan alam itu menjadi bahan kemakmuran bagi kita. Perjuangan kita sudah tertanam dalam Undang-Undang Dasar kita. Untuk mendirikan suatu negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat kita sudah laksanakan, tinggal mendirikan Indonesia yang adil dan makmur!”

Pembicaraan yang terkait dengan tanah dan hutan itu juga pernah dilakukan dalam suatu seminar pada 6-7 Oktober 1977 bertajuk “Penjabaran Pasal 33 UUD 1945”. Seminar itu seperti evaluasi setelah 32 tahun merdeka, mengapa pada saat itu ekonomi tidak menjawab masalah kemiskinan dan pengangguran yang justru meningkat.

Bung Hatta mengatakan bahwa hasil-hasil pembangunan hanya berakibat menambah penghasilan berbagai golongan berpendapatan lebih tinggi, yang sudah memiliki modal, alat-alat produksi, jabatan-jabatan yang ada kaitannya dengan golongannya, kredit dan berbagai fasilitas lainnya, tetapi tidak menyentuh golongan yang masih rendah penghasilannya.

Apabila dihubungkan dengan situasi pemanfaatan lahan dan hutan saat ini—setelah 44 tahun seminar itu—keadaannya masih sama, walaupun setelah reformasi 1998 pemerintah telah berupaya mengatasinya.

Misalnya, di Riau, korporasi pulp dan paper telah menguasai hutan seluas 2.028.141 hektare dan perkebunan kelapa sawit telah menguasai 3.444.270 hektare (Ali, 2021). Secara nasional, penguasaan tanah jutaan hektare untuk perkebunan telah berada di tangan hanya beberapa perusahaan grup besar dan konflik lahan pun terjadi di hampir semua provinsi yang mempunyai perkebunan (Dirjen Perkebunan, 2021).

Pemanfaatan hutan juga didominasi perusahaan besar daripada masyarakat lokal dan adat (KLHK, 2020). Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 11/2020 tentang cipta kerja, konsesi-konsesi besar mendapat peluang perizinan selama dua kali 90 tahun, dibandingkan dengan persetujuan perhutanan sosial yang hanya dua kali 35 tahun.

Dengan demikian, pokok soal yang dibahas dalam seminar 1977 itu, masih sangat relevan dengan kondisi saat ini. Untuk itu perlu kita pahami makna makalah kunci yang disusun Bung Hatta sebagai menjadi acuan.

Bung Hatta menegaskan dasar pemikiran bagaimana pasal 33 dibentuk, yaitu sistem ekonomi yang dikembangkan dari bawah melalui koperasi untuk memenuhi keperluan hidup rakyat sehari-hari dan kemudian berangsur-angsur meningkat ke atas. Pemerintah membangun dari atas, melaksanakan hal-hal besar seperti penyediaan tenaga listrik, air minum, infrastruktur ekonomi maupun berbagai macam produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Selanjutnya, pelaku ekonomi ketiga yaitu swasta, yang mempunyai ruang pengembangan ekonomi di antaranya. Dalam pelaksanaannya, Bung Hatta mengatakan, “Pemerintah berkewajiban membuat peraturan guna kelancaran jalannya ekonomi, yaitu peraturan yang melarang “pengisapan” orang yang lemah oleh orang yang bermodal”.

Sebagai pembahas makalah tersebut, Ruslan Abdulgani (1914-2005)—pemimpin selama revolusi pada akhir 1940-an dan Duta Besar PBB pada pemerintahan Presiden Soekarno—menekankan keharusan adanya keseimbangan antara peran negara dan peran pasar dalam pengaturan kekayaan alam, yang didasarkan pada idealisme dan realisme Bung Hatta.

Ia mengatakan rakyat mempunyai pengembangan ekonomi melalui aktiva koperasi dan aktiva negara menguasai public utilities dan natural riches, harus kita pegang teguh. Dalam hal ini tidak semua aktiva ekonomi harus dijadikan koperasi atau diambil alih negara.

Ruslan memberi alasan: “Karena, jika begitu, negara akan menjadi robot, harkat dan harga manusia akan lenyap. Kleptokrasi akan mendesak demokrasi dan nafsu klepto maniak akan menyelinap ke dalam birokrasi negara, mencuri kekayaan rakyat. Sebaliknya, kalau semua aktiva ekonomi diswastakan tanpa campur tangan, pembinaan oleh pimpinan negara dan pemerintah, maka free-fight liberalisme akan timbul: si kaya dan si kuat akan menghisap si miskin dan si lemah, si pintar akan menipu si bodoh. Kanibalisme ekonomi dan politik akan menjadi kebiasaan. Kombinasi etatisme negara dan kompetisinya liberalisme swasta itu dapat menyempitkan kemakmuran rakyat”.

Dalam seminar itu terungkap bagaimana hal-hal fundamental itu masih belum tercapai, antara lain, adanya penghamburan kekayaan negara termasuk nilai devisa, akibat penyalahgunaan, salah urus, komersialisasi jabatan, manipulasi maupun korupsi.

Dengan begitu, secara keseluruhan bisa kita lihat bahwa persoalan lahan dan hutan itu—yang telah dipersoalkan hampir 50 tahun yang lalu—akibat sistem pemerintahan yang tidak bisa memisahkan antara apa yang harus dijalankan sesuai dengan kepentingan publik, kebijakan afirmatif bagi rakyat yang tertinggal secara ekonomi dan politik, dengan apa yang dapat diberikan peluang-peluang ekonomi bagi swasta, yang berujung pada kanibalisme ekonomi dan politik.

Dua abad sebelumnya, hal itu telah diingatkan oleh pakar ekonomi Adam Smith (1723-1790), yang dahulu sering dikritik karena menyebarkan liberalisme melalui The Wealth of Nations dan The Theory of Moral Sentiments.

Smith curiga terhadap etika dan moral para pelaku bisnis dengan kebijakan pribadinya. Ia pernah berkata kurang lebih sebagai berikut: “Orang-orang dari bisnis yang sama jarang bertemu, bahkan untuk kesenangan dan hiburan, kecuali percakapannya berakhir dengan konspirasi melawan publik, atau untuk menaikkan harga. Pedagang dan pemilik pabrik tidak seharusnya mengatur umat manusia.”

Pikiran itu sejalan dengan konsep Bung Hatta dalam pemanfaatan hutan dan lahan.

Penulis : Hariadi Kartodihardjo

Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Sumber : https://www.forestdigest.com/detail/1196/pikiran-bung-hatta-soal-hutan-dan-lahan#.Yw4W1Azmnlc.whatsapp