Sekarang ini banyak orang, termasuk ekonom, mempercayai bahwa Indonesia sudah berada di ambang deindustrialisasi. Gejala ini mulai nampak sejak tahun 2004 lalu. Namun, pemerintah menganggap enteng fenomena itu. Bahkan, pemerintah berulang-kali berupaya menepisnya.
Belakangan, gejala deindustrialisasi itu makin tampak. Didik J. Rachbini, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menyebut tiga indikator deindustrialisasi saat ini, yakni semakin rendahnya kontribusi industri terhadap perekonomian, menurunnya ekspor, dan rendahnya penyerapan tenaga kerja di sektor industri.
Dalam kurun waktu tahun 1987 hingga 1996, pertumbuhan industri mencapai rata-rata sebesar 12% per tahun. Namun, sejak kurun waktu antara tahun 2000 hingga tahun 2008, sektor industri hanya tumbuh rata-rata 5,7%. Bahkan, pada tahun 2008 dan 2009, industri hanya tumbuh di bawah 4%.
Apa penyebabnya?
Banyak pengamat ekonomi yang menuding liberalisasi ekonomi, yang begitu massif di jalankan oleh rezim neoliberal dalam satu dekade terakhir, sebagai biang kerok dari deindustrialisasi ini. Pendapat ini tentu ada benarnya.
Namun, bagi ekonom Econit Hendri Saparini, Indonesia memang tidak punya strategi industrialisasi. Pendapat ini diperkuat pula oleh Didik J Rachbini. Dia bilang, Indonesia memang sejak awal tidak dirancang sebagai negara industri.
Kenyataan ini tergambar, kata Didik, pada struktur awal ekonomi Indonesia, khususnya sejak orde baru, yang memang tidak punya industri dasar yang kuat, seperti mesin, besi, dan baja. Bung Karno sebetulnya pernah mempersiapkan pembangunan industri dasar, yakni melalui pembangunan industri baja dan semen, tetapi termentahkan oleh kudeta Soeharto.
Betulkah kita tidak punya strategi industrialisasi? Sebetulnya, kalau mau jujur, konstitusi kita, yakni pasal 33 UUD 1945, sudah menyiapkan landasan untuk strategi industrialisasi. Sayang, konsep pembangunan ekonomi ala pasal 33 UUD 1945 itu tidak pernah di jalankan.
Di samping itu, para pendiri bangsa kita sebetulnya sangat kaya dengan pemikiran soal strategi industrialisasi. Salah satu diantaranya: Bung Hatta. Gagasan Bung Hatta mengenai strategi industrialisasi banyak ditorehkan di banyak tulisan-tulisan dan pidato-pidatonya. Sayang, para pengambil kebijakan ekonomi kita saat ini sengaja mengabaikan pemikiran Bung Hatta itu.
Apa itu industrialisasi? Menurut Bung Hatta, membangun pabrik di mana-mana belum berarti industrialiasi. Ia mencontohkan Pulau Jawa saat itu, yang sudah punya banyak pabrik, namun kehidupan sebagian besar rakyatnya masih bergantung pada sektor pertanian.
Bung Hatta melanjutkan, supaya suatu negara bisa disebut melakukan industrialisasi, maka dasar perekonomiannya, yang semula bertumpu pada sektor agraria, harus segera beranjak menjadi industri. Artinya, sektor pertanian tidak lagi menjadi pokok, namun beralih ke industri. Kehidupan rakyat pun ikut berubah: dari bergantung pada pertanian beralih ke industri.
Seiring dengan pertambahan penduduk, juga kemajuan kekuatan-kekuatan produktif, pertanian tidak sanggup lagi memenuhi kebutuhan rakyat. Jumlah penduduk bertambah, tapi tanah tak bertambah luas. Akhirnya, pembangunan industri menjadi keharusan.
Karena itu, bagi Bung Hatta, esensi dari industrialisasi adalah memenuhi kebutuhan massa-rakyat. Proyek industrialisasi mestilah berujung pada pemenuhan kebutuhan hidup seluruh rakyat. Artinya, industrialisasi tak ada gunanya kalau toh sebagian besar rakyat masih hidup sengsara.
“Kalau industrialisasi hanya memberi makan kepada beberapa ribu orang saja, itu belum bisa dinamakan industrialisasi. Yang semacam itu tak lain hanya polititik perekonomian temple-menempel. Tidak dapat disebut politik perekonomian untuk mencapai kemakmuran rakyat,” kata Bung Hatta.
Karena itu, bagi Bung Hatta, yang penting sebelum memulai industrialisasi adalah merumuskan cita-citanya. Apa cita-cita industrialisasi itu? Untuk Indonesia, kata Bung Hatta, ya, jelas, untuk memakmurkan rakyat. Karena itu, tujuan pokok produksi adalah memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Menurut Bung Hatta, untuk membangun industri, kita harus menggenapi empat syarat, yaitu tenaga kerja (buruh), kapital, tenaga organisasi, dan bahan baku. Dari empat syarat itu, ada dua syarat yang relatif gampang dipenuhi, yakni tenaga kerja dan bahan baku. Yang agak sulit, kata Bung Hatta, ialah soal kapital dan tenaga organisasi.
Kata Bung Hatta, kalau industrinya mau diarahkan untuk kesejahteraan rakyat, maka mau tidak mau kapitalnya harus datang dari rakyat atau pemerintah. Sebab, kalau kapital-nya datang dari luar (kapital asing), maka tampuk produksi bisa dipegang oleh orang asing. Motif kapital asing ini pun keuntungan belaka. Artinya, kalau tidak ada bayangan keuntungan, maka mereka tidak mau.
Di sinilah letak masalahnya: kapital asing hanya akan membangun industri yang gampang mendatangkan keuntungan berlimpah. Biasanya mereka lebih melirik sektor pertambangan. Sementara industrialisasi kita, yang menuntut penyerapan tenaga kerja penuh dan pemenuhan kebutuhan rakyat, menghendaki pembangunan pabrik secara meluas.
Kemudian soal syarat tenaga organisasi atau orang-orang yang berpengalaman untuk memimpin industrialisasi. Pada saat itu, di eranya Bung Hatta, ini memang menjadi persoalan, karena kurangnya tenaga terampil. Namun, kalau sekarang ini, soal tenaga terampil tidak begitu persoalan.
Namun, punya pabrik dan bisa berproduksi belumlah cukup, kalau tidak ada jaminan pasar. Karena itu, supaya industrialisasi bisa berjalan, maka daya beli rakyat harus dinaikkan. “Yang pertama harus ada tenaga pembeli dahulu, setelah itu barulah industrialisasi,” kata Bung Hatta.
Memang, sedari awal Bung Hatta menekankan pentingnya memperkuat pasar internal. Baginya, ide untuk membangun industri berorientasi ekspor hanya akan membawa malapetaka. Sebab, industri dalam negeri sangat bergantung pada pasar di luar. Sementara pasar di luar sangat gampang kolaps akibat sistem kapitalisme yang memang selalu membawa krisis. Ekspor hanya diperlukan sebatas sebagai pembayar barang-barang yang diimpor dari luar untuk kebutuhan rakyat.
Namun, bagaimana membangkitkan daya beli rakyat itu, sementara proyek industrialisasi belum dimulai? Bung Hatta punya dua ide: transmigrasi dan koperasi. Dengan transmigrasi, rakyat yang selama ini kurang produktif—karena tak punya tanah—bisa menjadi produktif. Sedangkan dengan koperasi, modal rakyat yang kecil-kecil bisa disatukan, dan dengan demikian, bisa dikembangkan sesuai bidang produksinya.
Hal penting lainnya, di mata Bung Hatta, adalah perlunya perencanaan. Proses industrialisasi tidak bisa dilepas tanpa kendali. Selain itu, supaya industri itu benar-benar mensejahterakan rakyat, termasuk kaum buruh, maka harus ada demokrasi di dalam perusahaan. Artinya, kaum buruh harus berpartisipasi dalam berbagai kebijakan perusahaan, termasuk produksi.
Artikel diterbitkan oleh Berdikari Online
Bung Hatta Dan Strategi Industrialisasi
Rudi Hartono, Pimred Berdikari Online
Saya sangat suka dengan sosok sederhana nya Bung Hatta.
Terima kasih atas komentarnya 🙂